Selasa, 21 Mei 2013

teori perencanaan sistem PAI


HAND OUT PERENCANAAN SISTEM PAI

I. KONSEP, PENDEKATAN, DAN MODEL PERENC.  PENDIDIKAN.

A. Pendahuluan
Bagi setiap pendidik, baik yang berstatus sebagai kepala sekolah maupun sebagai guru mata pelajaran dituntut untuk memahami  konsep-konsep dasar tentang perencanaan pendidikan, pendekatan dalam perencanaan pendidikan dan beragam model perencanaan pendidikan. Kualitas pemahaman kepala sekolah terhadap ketiga konsep tersebut akan berpengaruh positif terhadap pelaksanaan manajemen pendidikan di setiap satuan pendidikan. Demikian juga bagi guru, kualitas pemahaman terhadap ketiga konsep tersebut akan mendukung pelaksanaan empat kompetensi professional guru dalam proses layanan pendidikan kepada peserta didik.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa kajian tentang konsep perencanaan, pendekatan dan model perencanaan pendidikan mempunyai ruang lingkup yang sangat luas atau kompleks. Oleh karena itu kajian singkat berikut ini lebih menekankan pada  tiga aspek, yaitu: (1) beberapa konsep tentang perencanaan pendidikan; (2) pendekatan perencanaan pendidikan; dan (3) beragam metode dan model perencanaan pendidikan. Sedangkan tujuan yang hendak diraih dari kajian singkat ini adalah diharapkan kajian singkat ini dapat memberikan informasi awal bagi para peminat kajian tentang perencanaan pendidikan, dan terus termotivasi untuk meningkatkan pemahamanan lebih lanjut pada sumber-sumber ilmiah lainnya.
B. Beberapa Konsep Tentang Perencanaan Pendidikan
Ada tujuh konsep penting yang perlu dipahami, dalam mengawali kajian atau pembahasan tentang konsep perencanan pendidikan, antara lain: (1) pengertian perencanaan pendidikan; (2) tujuan perencanaan pendidikan; (3) manfaat perencanaan pendidikan; (4) ruang lingkup perencanaan pendidikan; (5) karakteristik perencanaan pendidikan; (6) prinsip-prinsip perencanaan pendidikan; dan (7) proses atau tahapan penyusunan perencanaan pendidikan.  Berikut ini akan dijelaskan secara singkat ketujuh  konsep tersebut di atas.
1. Pengertian perencanaan pendidikan
Pengertian perencanaan, dan pengertian perencanaan pendidikan. Ada beragam pengertian perencanaan  yang telah dikemukakan oleh para ahli, antara lain menurut: (1) Bintoro Tjokroaminoto, perencanaan adalah ‘proses mempersiapkan kegiatan-kegiatan secara sistematis yang akan dilakukan untuk mencapai tujuan tertentu; (2) Prajudi Atmosudirdjo, perencanaan adalah ‘perhitungan dan penentuan tentang sesuatu yang akan dijalankan dalam rangka mencapai tujuan tertentu, siapa yang melakukan, bilamana, dimana dan bagaimana cara melakukannya; (3) Handoko, perencanaan adalah  meliputi: (a) pemilihan atau penetapan tujuan-tujuan organisasi; dan (b) penentuan strategi, kebijakan, proyek, program, prosedur, metode, sistem, anggaran dan standar yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan; (4) Husaini Usman, perencanaan  adalah kegiatan yang akan dilakukan dimasa yang akan datang untuk mencapai tujuan; (5) Coombs, perencanaan pendidikan adalah ‘suatu penerapan yang rasional dari analisis sistematis proses perkembangan pendidikan dengan tujuan agar pendidikan itu lebih efektif dan efisien serta sesuai dengan kebutuhan dan tujuan para peserta didik dan masyarakatnya; dan (6) Sa’ud dan Makmun, perencanaan pendidikan adalah ‘suatu kegiatan melihat masa depan dalam hal menentukan kebijakan, prioritas dan biaya pendidikan dengan memprioritaskan kenyataan yang ada dalam bidang ekonomi, sosial dan politik untuk mengembangkan sistem pendidikan negara dan pesera didik yang dilayani oleh sistem tersebut (Sa’ud, S. dan Makmun A,S. 2007; Usman, H. 2008).
Dari beberapa definisi tentang perencanaan tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa  konsep yang ada dalam pengertian perencanaan pendidikan adalah: (1) suatu rumusan rancangan  kegiatan yang ditetapkan berdasarkan visi, misi dan tujuan pendidikan; (2) memuat langkah atau prosedur dalam  proses kegiatan untuk mencapai tujuan pendidikan; (3) merupakan alat kontrol pengendalian perilaku warga satuan pendidikan (kepala sekolah, guru, karyawan, siswa, komite sekolah); (4) memuat rumusan hasil yang ingin dicapai dalam proses layanan pendidikan kepada peserta didik; dan (5) menyangkut masa depan proses pengembangan dan pembangunan pendidikan dalam waktu tertentu, yang lebih berkualitas.
2. Tujuan Perencanaan Pendidikan
Tujuan perencanaan pendidikan. Ada beberapa tujuan perlunya penyusunan suatu perencanaan pendidikan, antara lain: (1) untuk standar pengawasan pola perilaku pelaksana pendidikan, yaitu untuk mencocokkan antara pelaksanaan atau tindakan pemimpin dan anggota organisasi pendidikan dengan program atau perencanaan yang telah disusun; (2) untuk mengetahui kapan pelaksanaan perencanaan pendidikan itu diberlakukan dan bagaimana proses penyelesaian suatu kegiatan layanan pendidikan; (3) untuk mengetahui siapa saja yang terlibat (struktur organisasinya) dalam pelaksanaan program atau perencanaan pendidikan, baik aspek kualitas maupun kuantitasnya, dan baik menyangkut aspek akademik-nonakademik; (4) untuk mewujudkan proses kegiatan dalam pencapaian tujuan pendidikan secara efektif dan sistematis termasuk biaya dan kualitas pekerjaan; (5) untuk meminimalkan terjadinya beragam kegiatan yang tidak produktif dan tidak efisien, baik dari segi biaya, tenaga dan waktu selama proses layanan pendidikan; (6) untuk memberikan gambaran secara menyeluruh (integral) dan khusus (spefisik) tentang jenis kegiatan atau pekerjaan bidang pendidikan yang harus dilakukan; (7) untuk menyerasikan atau memadukan beberapa sub pekerjaan dalam suatu organisasi pendidikan sebagai ‘suatu sistem’; (8) untuk mengetahui beragam peluang, hambatan, tantangan dan kesulitan yang dihadapi organisasi pendidikan; dan (9) untuk mengarahkan proses  pencapaikan tujuan pendidikan (Dahana, OP and Bhatnagar, OP. 1980; Banghart, F.W and Trull, A. 1990; Sagala, S. 2009).
3. Manfaat perencanaan pendidikan
Manfaat perencanaan pendidikan. Menurut para ahli, ada beberapa manfaat dari suatu perencanaan pendidikan yang disusun dengan baik bagi kehidupan kelembagaan, antara lain: (1) dapat digunakan sebagai standar pelaksanaan dan pengawasan proses aktivitas atau pekerjaan pemimpin dan anggota dalam suatu lembaga pendidikan; (2) dapat dijadikan sebagai media pemilihan berbagai alternatif langkah pekerjaan atau strategi penyelesaian yang terbaik bagi upaya pencapaian tujuan pendidikan; (3) dapat bermanfaat dalam penyusunan skala prioritas kelembagaan baik yang menyangkut sasaran yang akan dicapai maupun proses kegiatan layanan pendidikan; (4) dapat mengefisiensikan dan mengefektifkan pemanfaatan beragam sumber daya organisasi atau lembaga pendidikan; (5) dapat membantu pimpinan dan para anggota (warga sekolah) dalam menyesuaikan diri terhadap perkembangan atau dinamika perubahan sosial-budaya; (6) dapat dijadikan sebagai media atau alat  untuk memudahkan dalam berkoordinasi dengan berbagai pihak atau lembaga pendidikan yang terkait, dalam rangka meningkatkan kualitas layanan pendidikan; (7) dapat dijadikan sebagai media untuk meminimalkan pekerjaan yang tidak efisien atau tidak pasti; dan (8) dapat dijadikan sebagai alat dalam mengevaluasi pencapaian tujuan proses layanan pendidikan (Depdiknas. 1997; Soenarya, E. 2000; Depdiknas, 2001).
4. Ruang lingkup perencanaan pendidikan
Ruang lingkup perencanaan pendidikan mempunyai jangkauan yang cukup luas, dan  dapat ditinjau dari berbagai aspek, antara lain:
a.Ditinjau dari aspek spasialnya, yaitu perencanaan pendidikan yang memiliki karakter yang terkait dengan ruang, tempat atau batasan wilayah. Perencanaan ini dapat terbagi menjadi: (1) perencanaan pendidikan nasional, yaitu mencakup seluruh proses usaha layanan pendidikan yang dilakukan oleh pemerintah pusat, yang bertujuan untuk mencapai tujuan pendidikan nasional, yang meliputi seluruh jenjang pendidikan dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi, yang diatur dalam sistem pendidikan nasional (sispenas) melalui Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional; (2) perencanaan pendidikan regional, yaitu perencanaan pendidikan yang dibuat dan diberlakukan dalam wilayah regional tertentu, misalnya perencanaan pengembangan layanan pendidikan tingkat Propinsi dan Kabupaten/ Kota, yang menyangkut seluruh jenis layanan pendidikan di semua jenjang untuk daerah atau propinsi tertentu; (3) perencanaan pendidikan kelembagaan, yaitu perencanaan pendidikan yang mencakup satu institusi atau lembaga pendidikan tertentu, misalnya perencanaan pengembangan layanan pendidikan Sekolah Menengah Atas (SMA) ‘Mandiri’ kota ‘Maju’ tahun 2010, perencanaan Universitas ‘Citra Bangsa’, dan sejenisnya.
b.  Dintinjau dari aspek sifat dan karakteristik modelnya, dapat dibagi menjadi: (1) perencanaan pendidikan terpadu (integrated educational planning), yaitu perencanaan pendidikan yang mencakup seluruh aspek yang terkait dengan proses pembangunan pendidikan yang esensial (mendasar), dalam koridor perencanaan pembangunan nasional, dalam hal ini perencanaan pendidikan ada keterpaduan atau keterkaitan secara sistemik dengan perencanaan pembangunan bidang ekonomi, politik, hukum dan sebagainya; (2) perencanaan pendidikan komprehensif (comprehension educational planning), yaitu perencanaan pendidikan yang disusun secara sistematik, rasional, objektif yang menyangkut keseluruhan konsep penting dalam layanan pendidikan, sehingga perencanaan itu memberikan suatu pemahaman yang lengkap atau sempurna tentang ‘apa’ dan ‘bagaimana’ memberikan layanan pendidikan yang berkualitas; (3) perencanaan pendidikan strategik (strategic educational planning), yaitu perencanaan pendidikan yang mengandung pokok-pokok perencanaan untuk menjawab persoalan atau opini, atau isu mutakhir yang dihadapi oleh dunia pendidikan, misalnya, persoalan yang dihadapi dunia pendidikan sekarang adalah masalah ‘tranformasi teknologi’, atau masalah ‘rendahnya kualitas guru’, atau masalah ‘keterkaitan antara dunia usaha dengan output lulusan’, dan sebagainya. Jadi, perencanaan ini menyangkut beragam strategi untuk menghadapi persoalan yang muncul.
c.Ditinjau dari aspek waktunya. Perencanaan pendidikan terbagi menjadi beberapa jenis, yaitu: (1) perencanaan pendidikan jangka panjang (long term educational planning), yaitu  perencanaan pendidikan yang disusun dalam jangka waktu 10 (sepuluh) tahun ke atas, isi perencanaan jangka panjang ini belum ditampilkan sasaran yang bersifat kuantitatif, melainkan dalam bentuk proyeksi atau perspektif atas keadaan ideal yang diinginkan dalam pembangunan pendidikan. Contoh, program pendidikan nasional dalam sistem pendidikan nasional; (2) perencanaan pendidikan jangka menengah (medium term educational planning), yaitu perencanaan pendidikan yang disusun dalam jangka waktu antara tiga sampai delapan tahun (perencanaan untuk empat atau lima tahun atau satu periode kepemimpinan). Perencanaan jangka menengah merupakan penjabaran lebih kongkrit dari perencanaan jangka panjang, yang sudah merumuskan sasaran atau tujuan yang secara kuantitatif akan dicapai; dan (3) perencanaan pendidikan jangka pendek (short term educational planning), yaitu perencanaan pendidikan yang disusun dalam jangka waktu maksimal satu tahun. Perencanaan ini sering disebut perencanaan operasional tahunan (annual operational planning), yang memuat langkah-langkah strategis dan operasional sehari-hari, yang merupakan penjabaran lebih rinci dan aplikatif dari perencanaan jangka memengah.
d.  Ditinjau dari aspek tingkatan teknis perencanaan. Perencanaan ini dibedakan menjadi: (1) perencanaan pendidikan makro, yaitu perencanaan pendidikan yang bersifat nasional atau sering disebut dengan perencanaan pendidikan nasional, yang berlaku di seluruh negara kesatuan RI dari jenjang pendidikan dasar sampai perguruan tinggi. Perencanaan pendidikan makro ini disebut juga dengan ‘sistem pendidikan nasional’ (Sispenas); (2) perencanaan pendidikan mikro, yaitu perencanaan pendidikan yang disusun dan disesuaikan dengan kondisi otonomi daerah masing-masing. Dalam perencanaan pendidikan mikro, secara teknis perlu memperhatikan: (a) ketentuan/ standar; (b) kondisi geografis dan demografis; dan (c) infrastruktur yang ada di daerah, sedangkan secara non teknis perlu memperhatikan: (a) aspirasi dan peran serta masyarakat terhadap pendidikan; (b) kondisi sosial, ekonomi, budaya, politik dan kamanan daerah; (3) perencanaan pendidikan sektoral, yaitu kumpulan program atau kegiatan pendidikan yang menekankan pada sektor tertentu, namun tetap ada keterkaitan dengan sektor lainnya; (4) perencanaan pendidikan kawasan, yaitu perencanaan pendidikan yang memperhatikan kawasan lingkungan tertentu sebagai pusat kegiatan pendidikan, misalnya perencanaan pendidikan kawasan pesisir, kawasan pinggiran kota; (5) perencanaan pendidikan proyek, yaitu perencanaan operasional yang menyangkut implementasi kebijakan untuk mencapai tujuan, misalnya perencanaan proyek unik sekolah baru SMK.
e.  Ditinjau dari aspek jenis perencanaan. Perencanaan pendidikan ini dibedakan menjadi: (1)   perencanaan pendidikan dari atas ke bawah (top down educational planning), perencanaan ini sering disebut juga perencanaan pendidikan makro atau perencanaan pendidikan nasional; (2) perencanaan pendidikan dari bawah ke atas (bottom up  educational planning), yaitu perencanaan pendidikan yang dibuat oleh tenaga perencana dari tingkat bawah kemudian disampaikan ke pusat, misalnya perencanaan yang dibuat oleh guru, kepala sekolah, Dinas Pendidikan kemudian disampaikan ke Kementrian Pendidikan Nasional; (3) perencanaan pendidikan menyerong dan menyamping (diagonal educational planning), perencanaan ini sering disebut perencanaan sektoral, yaitu perencanaan yang melibatkan kerjasama antar departemen atau lembaga, misalnya, lembaga Kementrian Pendidikan Nasional dengan Bappeda Propinsi; (4) perencanaan pendidikan mendatar (horizontal educational planning), yaitu perencanaan pendidikan yang dibuat dengan menjalin kerjasama antar lembaga atau departemen yang sederajat, misalnya perencanaan pendidikan antara kementrian pendidikan dan kementrian agama dan kementrian sosial; (5) perencanaan pendidikan menggelinding (rolling educational planning), yaitu perencanaan pendidikan yang dibuat oleh pejabat yang berwenang dalam bentuk perencanaan jangka pendek, menengah dan panjang; (6) perencanaan pendidikan gabungan atas ke bawah dan bawah ke atas (top down and bottom up  educational planning), yaitu perencanaan pendidikan yang mengintegrasikan atau mengakomodasi kepentingan pusat dan daerah (lokal) (Oliver, Paul, ed. 1996; Usman, H. 2008).
5. Karakteristik perencanaan pendidikan
Karakteristik perencanaan pendidikan. Berdasarkan beberapa pengertian, tujuan, manfaat, dan ruang lingkup perencanaan pendidikan tersebut di atas, maka ciri-ciri (karakteristik) suatu perencanaan pendidikan antara lain, perencanaan pendidikan harus: (1) berorientasi pada visi, misi kelembagaan yang akan diwujudkan; (2) mempunyai tahapan program jangka waktu tertentu (jangka pendek, menengah dan panjang) yang akan dicapai secara berkesinambungan; (3) mengutamakan nilai-nilai manusiawi, kerena pendidikan itu membangun manusia yang berkualitas, yang bermanfaat bagi dirinya dan masyarakatnya; (4) memberikan kesempatan untuk mengembangkan segala potensi peserta didik secara maksimal; (5) komprehensif dan sistematis dalam arti tidak praktikal atau segmentasi tetapi menyeluruh, terpadu (integral) dan disusun secara logis, rasional serta mencakup berbagai jalur, jenis dan jenjang pendidikan; (6) diorientasikan untuk mempersiapkan kualitas sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas, yang sanggup mengisi berbagai sektor pembangunan; (7) dikembangkan dengan memperhatikan keterkaitannya dengan berbagai komponen pendidikan secara sistematis; (8)  menggunakan sumber daya (resources) internal dan eksternal secermat mungkin; (9) berorientasi kepada masa datang, karena pendidikan adalah proses jangka panjang dan jauh untuk menghadapi berbagai persoalan di masa depan; (10) responsif terhadap kebutuhan yang berkembang di masyarakat dan bersifat dinamik; dan (11) merupakan sarana untuk mengembangkan inovasi pendidikan, sehingga proses  pembaharuan pendidikan terus berlangsung dengan baik  (Banghart, F.W and Trull, A. 1990; Tilaar.H.A.R. 1998; Sa’ud, S. dan Makmun A,S. 2007).
6. Prinsip-prinsip perencanaan pendidikan
Prinsip-prinsip perencanaan pendidikan. Ada beberapa prinsip yang harus diperhatikan dalam penyusunan perencanaan pendidikan, antara lain:
  1. Prinsip interdisipliner, yaitu menyangkut berbagai bidang keilmuan atau beragam kehidupan. Hal ini penting karena hakikat layanan pendidikan kepada peserta didik harus menyangkut berbagai jenis pengetahuan, beragam ketrampilan dan nilai-norma kehidupan yang berlaku di masyarakat.
  2. Prinsip fleksibel, yaitu bersifat lentur, dinamik dan responsif terhadap perkembangan atau perubahan kehidupan di masyarakat. Hal ini penting, karena hakikat layanan pendidikan kepada peserta didik adalah menyiapkan siswa untuk mampu menghadapi perkembangan Ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek) dan beragam tantangan kehidupan terkini.
  3. Prinsip efektifitas-efisiensi, artinya dalam penyusunan perencanaan pendidikan didasarkan pada perhitungan sumber daya yang ada secara cermat dan matang, sehingga perencanaan itu ‘berhasil guna’ dan ‘bernilai guna’ dalam pencapaian tujuan pendidikan.
  4. Prinsip progress of change, yaitu terus mendorong dan memberi peluang kepada semua warga sekolah untuk berkarya dan bergerak maju ke depan dengan beragam pembaharuan layanan pendidikan yang lebih berkualitas, sesuai dengan peranan masing-masing.
  5. Prinsip objektif, rasional dan sistematis, artinya perencanaan pendidikan harus disusun berdasarkan data yang ada, berdasarkan analisa kebutuhan dan kemanfaatan layanan pendidikan secara rasional (memungkinkan untuk diwujudkan secara nyata), dan mempunyai sistematika dan tahapan pencapaian program secara jelas dan berkesinambungan.
  6. Prinsip kooperatif-komprehensif, artinya  perencanaan yang disusun mampu memotivasi dan membangun mentalitas semua warga sekolah dalam bekerja sebagai suatu tim (team work) yang baik. Disamping itu perencanaan yang disusun harus  mencakup seluruh aspek esensial (mendasar) tentang layanan pendidikan akademik dan non akademik setiap peserta didik.
  7. Prinsip human resources development, artinya perencanaan pendidikan harus disusun sebaik mungkin dan mampu menjadi acuan dalam pengembangan sumber daya manusia secara maksimal dalam mensukseskan program pembangunan pendidikan. Layanan pendidikan pada peserta didik harus betul-betul mampu membangun individu yang unggul baik dari aspek intelektual (penguasaan science and technology), aspek emosional (kepribadian atau akhlak), dan aspek spiritual (keimanan dan ketakwaan) , atau disebut IESQ yang unggul (Dahana,  and Bhatnagar, 1980; Banghart, F.W and Trull, A. 1990; Langgulung, H., 1992).
7. Proses atau tahapan penyusunan perencanaan pendidikan
Proses atau tahapan penyusunan perencanaan pendidikan. Menurut Banghart and Trull dalam Sa’ud (2007) ada beberapa tahapan yang semestinya dilalui dalam penyusunan perencanaan pendidikan, antara lain:
  1. Tahap need assessment, yaitu melakukan kajian terhadap beragam kebutuhan atau taksiran yang diperlukan dalam proses pembangunan atau pelayanan pembelajaran di setiap satuan pendidikan. Kajian awal ini harus cermat, karena fungsi kajian akan memberikan masukan tentang: (a) pencapaian program sebelumnya; (b) sumber daya apa yang tersedia, dan (c) apa yang akan dilakukan dan bagaimana tantangan ke depan yang akan dihadapi.
  2. Tahap formulation of goals and objective, yaitu perumusan tujuan dan sasaran perencanaan yang hendak dicapai
ai. Perumusan tujuan perencanaan pendidikan harus berdasarkan pada visi, misi dan hasil kajian awal tentang beragam kebutuhan atau taksiran (assessment) layanan pendidikan yang diperlukan.
  1. Tahap policy and priority setting, yaitu merancang tentang rumusan prioritas kebijakan apa yang akan dilaksanakan dalam layanan pendidikan. Rumusan prioritas kebijakan ini harus dijabarkan kedalam strategi dasar layanan pendidikan yang jelas, agar memudahkan dalam pencapaian tujuan.
  2. Tahap program and project formulation, yaitu rumusan program dan proyek pelaksanaan kegiatan operasional perencanaan pendidikan, menyangkut layanan pedidikan pada aspek akademik dan non akademik.
  3. Tahap feasibility testing, yaitu dilakukan uji kelayakan tentang beragam sumber daya (sumber daya internal/ eksternal; atau sumber daya manusia/ material). Apabila perencanaan disusun berdasarkan sumber daya yang tersedia secara cermat dan akurat, akan menghasilkan tingkat kelayakan rencana pendidikan yang baik.
  4. Tahap plan implementation, yaitu tahap pelaksanaan perencanaan pendidikan untuk mewujudkan tujuan pendidikan. Keberhasilan tahap ini sangat ditentukan oleh: (a) kualitas sumber daya manusianya (kepala sekolah, guru, komite sekolah, karyawan, dan siswa); (b) iklim atau pola kerjasama antar unsur dalam satuan pendidikan sebagai suatu tim kerja (team work) yang handal; dan (c) kontrol atau pengawasan dan pengendalian kegiatan selama proses pelaksanaan atau implementasi program layanan pendidikan.
  5. Tahap evaluation and revision for future plan, yaitu kegiatan untuk menilai (mengevaluasi) tingkat keberhasilan pelaksanaan program atau perencanaan pendidikan, sebagai feedback (masukan atau umpan balik), selanjutnya dilakukan revisi program untuk rencana layanan pendidikan berikutnya yang lebih baik.
Merujuk pada uraian dari pengertian perencanaan pendidikan sampai tahapan dalam penyusunan perencanaan pendidikan tersebut di atas, menunjukkan bahwa kedudukan perencanaan pendidikan dalam proses layanan pendidikan di setiap satuan pendidikan adalah sangat penting, karena dengan adanya perencanaan pendidikan yang baik dapat:
  1. Meningkatkan kualitas kegiatan atau aktivitas layanan pendidikan anak secara maksimal, baik menyangkut aspek akademik atau non akademiknya. Hal ini disebabkan seluruh aktivitas warga sekolah harus berdasarkan pada program yang telah disusun dengan baik dalam suatu perencanaan pendidikan secara sistematik dan integral.
  2. Mengetahui beberapa sumber daya internal dan eksternal yang dimiliki untuk dimanfaatkan secara maksimal, dan juga mengetahui beberapa kendala, hambatan dan tantangan yang akan dihadapi dalam upaya pencapaian tujuan. Hal ini disebabkan, suatu perencanaan pendidikan yang baik pasti akan memuat tentang beberapa peluang dalam mencapai tujuan dan prediksi tantangan atau hambatan yang akan muncul, serta strategi yang harus dilakukan dalam mengatasi hambatan tersebut.
  3. Memberi peluang pada setiap warga sekolah dalam meningkatkan beragam kemampuan, keahlian atau  ketrampilan secara maksimal, dalam rangka mewujudkan tujuan  layanan  pendidikan.
  4. Memberikan kesempatan bagi pelaksana program untuk memilih beberapa alternatif pilihan tentang metode atau strategi atau pendekatan yang tepat dalam pelaksanaan perencanaan pendidikan, agar efektif dalam upaya mencapai tujuan pendidikan.
  5. Memudahkan dalam pencapaian tujuan pendidikan, karena perencanaan pendidikan yang baik selalu dirancang dengan tahapan-tahapan pelaksanaan program layanan pendidikan (jangka pendek, menengah dan panjang), disamping itu telah disusun skala prioritas sasaran tujuan yang akan dicapai.
  6. Memudahkan dalam melakukan evaluasi tentang seberapa besar pencapaian tujuan layanan pendidikan yang telah diraih, karena dalam perencanaan pendidikan yang baik selalu merumuskan indikator-indikator pencapaian tujuan dan instrumen apa yang dipakai dalam mengukur keberhasilan dalam kegiatan untuk mencapai tujuan.
  7. Memudahkan dalam melakukan revisi program layanan pendidikan dan proses penyusunan perencanaan pendidikan berikutnya, sesuai dengan dinamika dan perkembangan  kehidupan sosial-budaya (Banghart, F.W and Trull, A. 1990; Tilaar.H.A.R. 1998; Sa’ud, S. dan Makmun A,S. 2007).
B. Pendekatan Perencanaan Pendidikan
Menurut para ahli, ada beragam pendekatan perencanaan pendidikan, yaitu: pendekatan kebutuhan sosial (social demand approach); pendekatan ketenagakerjaan (manpower approach); pendekatan untung rugi (cost and benefit approach); dan pendekatan keefektifan biaya (cost effectiveness approach). Berikut ini akan dijelaskan secara singkat keempat pendekatan perencanan pendidikan tersebut
1. Pendekatan kebutuhan sosial
Perencanaan pendidikan yang menggunakan pendekatan kebutuhan sosial, oleh para ahli disebut pendekatan yang bersifat tradisional, karena fokus atau tujuan yang hendak dicapai dalam pendekatan kebutuhan sosial ini lebih menekankan pada: (1) tercapainya pemenuhan kebutuhan atau tuntutan seluruh individu terhadap layanan pendidikan dasar; (2) pemberian layanan pembelajaran untuk membebaskan populasi usia sekolah dari tuna aksara (buta huruf); dan (3) pemberian layanan pendidikan untuk membebaskan rakyat dari rasa ketakutan dari penjajahan, dari kebodohan dan dari kemiskinan. Oleh karena itu pendekatan kebutuhan sosial ini biasanya dilaksanakan  pada negara-negara yang baru meraih kemerdekaan dari penjajahan, dengan kondisi masyarakat pribumi yang terbelakang pendidikannya dan kondisi sosial ekonominya.
Apabila pendekatan kebutuhan sosial ini dipakai, maka ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan atau diperhatikan oleh penyusun perencanaan dalam merancang perencanaan pendidikan, antara lain: (1) melakukan analisis tentang pertumbuhan penduduknya; (2)  melakukan analisis tentang tingkat partisipasi warga masyarakatnya dalam pelaksanaan pendidikan, misalnya melakukan analisis persentase penduduk yang berpendidikan dan yang tidak berpendidikan, yang dapat memberikan kontribusi dalam peningkatan layanan pendidikan di setiap satuan pendidikan; (3) melakukan analisis tentang dinamika atau gerak (mobilitas) peserta didik dari sekolah tingkat dasar sampai perguruan tinggi, misalnya kenaikan kelas, kelulusan, dan dropout; (4) melakukan analisis tentang minat atau keinginan warga masyarakat tentang jenis layanan pendidikan di sekolah; (5) melakukan analisis tentang tenaga pendidik dan kependidikan yang dibutuhkan, dan dapat difungsikan secara maksimal dalam proses layanan pendidikan; dan (6) melakukan analisis tentang keterkaitan antara output satuan pendidikan dengan tuntutan masyarakat atau kebutuhan sosial di masyarakat (Sa’ud, S. dan Makmun A,S. 2007; Usman, H. 2008).
Ada beberapa kelebihan dan kekurangan penggunaan pendekatan kebutuhan sosial dalam perencanaan pendidikan. Diantara sisi positif pendekatan ini antara lain: (1) pendekatan ini  lebih cocok untuk diterapkan pada masyarakat atau negara yang baru merdeka dengan kondisi kebutuhan sosial, khususnya layanan pendidikan masih sangat rendah atau masih banyak yang buta huruf; dan (2) pendekatan ini akan lebih cepat dalam memberikan pemerataan layanan pendidikan dasar yang dibutuhkan pada warga masyarakat, karena keterbelakangan di bidang pendidikan akibat penjajahan, sehingga layanan pendidikan yang diberikan langsung bersentuhan dengan kebutuhan sosial yang mendasar yang dirasakan oleh masyarakat.  Sedangkan sisi kelemahan pendekatan kebutuhan sosial ini antara lain: (1) pendekatan ini cederung hanya untuk menjawab persoalan yang dibutuhkan masyarakat pada saat itu, yaitu pemenuhan kebutuhan atau tuntutan layanan pendidikan dasar sebesar-besanya, sehingga mengabaikan pertimbangan efisiensi pembiayaan pendidikan; (2) pendekatan ini lebih menekankan pada aspek kuantitas (jumlah yang terlayani sebanyak-banyaknya), sehingga kurang memperhatikan kualitas dan efektivitas pendidikan, oleh karena itu pendekatan ini terkesan lebih boros; (3) pendekatan ini mengabaikan ciri-ciri dan pola kebutuhan man power yang diperlukan di sektor kehidupan ekonomi, dengan demikian hasil atau output pendidikan cenderung kurang bisa memenuhi tuntutan kebutuhan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi terkini; dan (4) pendekatan ini lebih menekankan pada aspek pemerataan pendidikan (dimensi kuantitatif) dan kurang mementingkan aspek kualitatif. Disamping itu pendekatan ini kurang memberikan jawaban yang komprehensif dalam upaya pencapaian tujuan pendidikan, karena lebih menekankan pada aspek pemenuhan kebutuhan sosial, sementara aspek atau bidang kehidupan yang lain kurang diperhatikan.
2. Pendekatan ketenagakerjaan
Perencanaan pendidikan yang menggunakan pendekatan ini lebih mengutamakan keterkaitan antara output (lulusan) layanan pendidikan di setiap satuan pendidikan dengan tuntutan atau keterserapan akan kebutuhan tenaga kerja di masyarakat. Apabila pendekatan ini dipakai oleh para penyusun perencanaan pendidikan, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, antara lain: (1) melakukan kajian atau analisis tentang beragam kebutuhan yang diperlukan oleh dunia kerja yang ada di masyarakat secermat mungkin; (2) melakukan kajian atau analisis tentang beragam bekal pengetahuan dan ketrampilan apa yang perlu dimiliki oleh peserta didik agar mereka mampu menyesuaikan diri secara cepat (adaptif) terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang terjadi di dunia kerja; dan (3) mengkaji atau menganalisis tentang sistem layanan pendidikan yang terbaik dan mampu memberikan bekal yang cukup bagi siswa untuk terjun di dunia kerja, oleh karena itu perlu dilakukan analisis peluang kerja dan menjalin kerjasama antara lembaga pendidikan dengan dunia usaha dan industri (link and match).
Ada beberapa kelebihan dan kelemahan dari perencanaan pendidikan yang menggunakan pendekatan ketenagakerjaan, yaitu: Pertama, beberapa kebaikan dari pendekatan perencanaan pendidikan ketenagakerjaan, antara lain: (1) proses pembelajaran atau layanan pendidikan di satuan pendidikan mempunyai aspek korelasional yang tinggi dengan tuntutan dunia kerja yang dibutuhkan masyarakat; dan (2) pendekatan ini mengharuskan adanya keterjalinan yang erat antara lembaga pendidikan dengan dunia usaha dan industri, hal ini tentu sangat positif untuk meminimalisir terjadinya kesenjangan antara dunia pendidikan dengan dunia industri-usaha.
Kedua, beberapa kelemahan dari pendekatan perencanaan pendidikan ketenagakerjaan, antara lain: (1) mempunyai peranan yang terbatas terhadap perencanaan pendidikan, karena pendekatan ini telah mengabaikan peran sekolah menengah umum, dan lebih mengutamakan sekolah menengah kejuruan untuk memenuhi kebutuhan dunia kerja. Dalam realitasnya masih banyak lulusan sekolah menengah kejuruan yang menganggur (output-nya tidak terserap di dunia kerja); (2) perencanaan ini lebih menggunakan orientasi, klasifikasi, dan rasio antara permintaan dan persediaan; dan (3) tujuan utamanya untuk memenuhi tuntutan dunia kerja, sedangkan disisi lain tuntutan dunia kerja selalu berubah-ubah (bersifat dinamik) begitu cepat, sehingga lembaga pendidikan kejuruan sering kurang mampu mengantisipasinya dengan baik (Vebriarto. 1982; Abin, S. Makmun, dkk. 2001; Usman, H. 2008).
3. Pendekatan keefektifan biaya
Pendekatan ini berorientasi pada konsep Investment in human capital (investasi pada sumber daya manusia).  Pendekatan ini sering disebut pendekatan untung rugi. Diantara ciri-ciri pendekatan ini antara lain: (1) pendidikan memerlukan biaya investasi yang besar, oleh karena itu perencanaan pendidikan yang disusun harus mempertimbangkan aspek keuntungan ekonomis; (2) pendekatan ini didasarkan pada asumsi, bahwa: (a)  kualitas  layanan pendidikan akan menghasilkan output yang baik dan secara langsung akan memberi kontribusi pada pertumbuhan ekonomi masyarakat; (b) sumbangan seseorang terhadap pendapatan nasional adalah sebanding dengan tingkat pendidikannya; (c) perbedaan pendapatan seseorang di masyarakat, ditentukan oleh kualitas pendidikan bukan ditentukan oleh latar belakang sosialnya; (3)  perencanaan pendidikan harus betul-betul diorientasikan pada upaya meningkatkan kualitas SDM (penguasaan Iptek), dan dengan tersedianya kualitas SDM, maka diharapkan income masyarakat akan meningkat; dan (4) program pendidikan yang mempunyai nilai ekonomis tinggi akan menempati prioritas pembiayaan yang besar.
Ada beberapa kelebihan dan kelemahan dari perencanaan pendidikan dengan pendekatan  keefektifan biaya, yaitu. Pertama, kelebihan pendekatan keefektifan biaya, antara lain: (a) perencanaan pendidikan yang disusun akan mempunyai aspek fungsional dan keuntungan ekonomis, sehingga bentuk-bentuk layanan pendidikan yang dianggap kurang produktif bisa ditiadakan melalui pendekatan efisiensi investasi; dan (b)  pendekatan ini selalu memilih alternaif yang menghasilkan keuntungan lebih banyak daripada biaya yang dikeluarkan.
Kedua, kelemahan pendekatan keefektifan biaya, antara lain: (a) akan mengalami kesulitan dalam menentukan secara pasti biaya dan keuntungan (cost and benefit) dari layanan pendidikan, terlebih apabila digunakan mengukur keuntungan untuk periode atau masa yang akan datang; (b) sangat sulit untuk mengukur secara pasti atau menghitung keuntungan (benefit) yang dihasilkan oleh seseorang dalam lapangan pekerjaan yang dikaitkan dengan layanan pendidikan sebelumnya; (c) pendekatan ini mengabaikan hubungan antara penghasilan seseorang dengan faktor internal individu (misalnya, motivasi, disiplin nurani, kelas sosial, orientasi hidup individu, dan sejenisnya), dan hanya melihat hubungan antara tingkat pendidikan dengan penghasilan; (d) perbedaan pendapatan seseorang sebenarnya tidak semata-mata menunjukkan kemampuan produktivitas individual, tetapi ada faktor lain yang ikut menentukan yaitu faktor konvensi sosial atau banyak dipengaruhi dari kerja kelompok; dan (e) keuntungan dari pendidikan pada dasarnya tidak hanya diukur berupa keuntungan finansial (material), tetapi juga dapat dilihat dari keuntungan sosial-budaya (Abin, S. Makmun, dkk. 2001; Sa’ud, S. dan Makmun A,S. 2007).
4. Pendekatan integratif
Perencanaan pendidikan yang menggunakan pendekatan integrasi (terpadu) dianggap sebagai pendekatan yang lebih lengkap dan relatif lebih baik daripada ketiga pendekatan di atas. Pendekatan ini sering disebut dengan ‘pendekatan sistemik atau pendekatan sinergik’. Diantara ciri atau karakteristik pendekatan integratif adalah, bahwa perencanaan  pendidikan yang disusun berdasarkan pada: (1)  keterpaduan orientasi dan kepentingan terhadap pengembangan individu dan pengembangan sosial (kelompok); (2) keterpaduan antara pemenuhan kebutuhan ketenagakerjaan (bersifat pragmatis) dan juga mempersiapkan pengembangan kualitas akademik (bersifat idealis) untuk mempersiapkan studi lanjut; (3) keterpaduan antara pertimbangan ekonomis (untung rugi), dan pertimbangan  layanan sosial-budaya dalam rangka memberikan kontribusi terhadap terwujudnya integrasi sosial-budaya; (4) keterpaduan pemberdayaan terhadap sumber daya lembaga, baik sumber daya internal maupun sumber daya eksternal; (5) konsep bahwa seluruh unsur yang terlibat dalam proses layanan pendidikan (pelaksanaan program) di setiap satuan pendidikan merupakan ‘suatu sistem’; dan (6)  konsep bahwa kontrol dan evaluasi pelaksanaan program (perencanaan pendidikan) melibatkan semua pihak yang berkaitan dengan proses layanan kualitas pendidikan, dengan tetap berada dalam komando pimpinan atau kepala satuan pendidikan. Sedangkan pihak-pihak yang dapat terlibat dalam proses evaluasi pelaksanaan perencanaan pendidikan di setiap satuan pendidikan adalah: (a) Kepala sekolah; (b) Guru; (c) Siswa; (d) Komite Sekolah, (e) Pengawas sekolah; dan (f) Dinas pendidikan (Vebriarto. 1982; Soenarya, E. 2000; Depdiknas, 2001, 2006).
Sedangkan kelebihan dan kelemahan pendekatan perencanaan pendidikan integrasi atau terpadu adalah: Pertama, kelebihan pendekatan terpadu antara lain: (1) semua sumber daya (internal-eksternal) yang dimiliki dalam proses pengembangan pendidikan akan terberdayakan secara baik dan seimbang; (2) dalam proses pelaksanaan program atau perencanaan pendidikan memberikan peluang secara maksimal kepada setiap warga sekolah (kepala sekolah, guru, karyawan, siswa dan komite sekolah (tokoh dan orang tua wali siswa) untuk berkontribusi secara positif sesuai dengan status dan peran masing-masing; (3) peluang untuk pencapaian tujuan pendidikan yang telah dirumuskan akan lebih efektif, karena dalam perencanaan terpadu memberikan porsi yang cukup besar bagi pemberdayakan semua potensi yang dimiliki secara kelembagaan, dan menuntut partisipasi aktif dari semua warga sekolah; (4) perencanaan pendidikan yang terpadu akan mampu menghadapi perubahan atau dinamika kehidupan sosial, ekonomi dan budaya atau tingkat kompetisi yang begitu tinggi di semua bidang kehidupan di era globalisasi; (5) pelaksanaan pendekatan perencanaan pendidikan terpadu secara baik akan mampu mensosialisasi dan menginternalisasi setiap warga sekolah, untuk membangun sikap mental dan pola perilaku yang integral atau multidimensional atau komprehensif dalam memahami dan melaksanakan setiap agenda kehidupan di masyarakat; dan (6) output dari proses layanan pendidikan pada peserta didik  akan lebih menampilkan potret hasil pendidikan yang lengkap, baik kualitas akademiknya, kualitas kepribadiannya dan kualitas ketrampilannya.
Kedua, kelemahan pendekatan terpadu antara lain: (1) pendekatan ini memerlukan ketersediaan kualitas sumber daya manusia (pendidik dan tenaga kependidikan), khususnya kualitas pengetahuan, mentalitas atau kepribadiannya, dan spiritualnya. Dalam realitasnya menurut data Depdiknas 2006-2007, khususnya tentang kualitas tenaga pendidik (guru) secara makro (Nasional) dari jenjang pendidikan paling dasar sampai menengah atas yang betul-betul telah memenuhi standar kualitas guru yang professional masih kurang dari 20 %, atau kurang lebih 80 % guru-guru di Indonesia belum memiliki kualifikasi sebagai guru yang profesional (Arifin, 2007). Hal ini tentu sangat menyulitkan proses pelaksanaan perencanaan pendidikan yang integratif;  (2) perencanaan pendidikan terpadu menuntut kualitas pengelolaan manajemen kelembagaan secara transparan, akuntabel, demokratik dan visioner. Dalam realitasnya masih banyak dijumpai  pola pengelolaan manajemen di setiap satuan pendidikan yang tidak selaras dengan prinsip-prinsip Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS); dan (3) perencanaan pendidikan terpadu menuntut kualitas peran serta masyarakat (PSM), dalam meningkatkan layanan pendidikan di setiap satuan pendidikan, khususnya dalam melaksanakan empat peran penting, yaitu sebagai: (a) pemberi pertimbangan (advisory); (b) pendukung (supporting); (c) pengontrol  (controlling); dan (d) mediator (Depdiknas, 2006). Dalam realitasnya keempat peran tersebut belum terlaksana dengan baik di setiap lembaga atau satuan pendidikan.
Jadi, uraian tentang kelemahan pendekatan integratif atau terpadu atau sistemik sejatinya tidak menyangkut ranah konseptual, tetapi lebih bersentuhan pada tataran unsur pendudukung dalam pelaksanaan program (aplikasinya). Oleh karena itu secara konseptual pendekatan perencanaan integrasi merupakan pendekatan yang paling baik apabila dibandingkan dengan pendekatan yang lain yang lebih bersifat parsial (sektoral). Hal yang paling kunci untuk mendukung pelaksanaan program pendidikan pada perencanaan pendidikan integratif adalah: (a) terus mendorong pengembangan kualitas SDM warga sekolah; (b) terus meningkatkan kualitas manajemen satuan pendidikan berdasarkan prinsip-prinsip MPMBS; dan (c) terus meningkatkan kualitas peran serta masyarakat (PSM) untuk mencapai tujuan pendidikan.
C. Metode dan Model Perencanaan Pendidikan
1. Metode perencanaan pendidikan
Ada beberapa metode perencanaan pendidikan yang perlu dipahami oleh setiap penyusun perencanaan pendidikan, antara lain:
a. Metode analisis sumber-cara-tujuan. Metode  ini dipakai untuk meneliti sumber-sumber dan beberapa alternatif pelaksanaan program untuk mencapai tujuan pendidikan. Sebagai penyusun perencanaan pendidikan yang menggunakan metode ini, hal-hal yang perlu dilakukan adalah: (a) melakukan analisis tentang sumber daya yang ada, baik sumber daya internal atau eksternal yang dimiliki; (b) melakukan analisis tentang beberapa metode (cara) atau strategi yang dapat dilakukan dalam proses pelaksanaan program yang telah dirancang, agar efektif dalam pencapaian tujuan; dan (c) melakukan analisis tentang tujuan jangka pendek, menengah dan tujuan jangka panjang secara integral dan berkesinambungan,
b. Metode analisis masukan-keluaran. Metode ini dipakai untuk menganalisis beberapa faktor input pendidikan, proses pendidikan dan output pendidikan. Sebagai penyusun perencanaan pendidikan yang menggunakan metode ini, hal-hal yang perlu dilakukan adalah: (1)  melakukan analisis tentang faktor-faktor input pendidikan, misalnya: (a) analisis memiliki kebijakan mutu sekolah; (b) analisis sumber daya tersedia dan siap; (c) analisis tentang harapan prestasi yang tinggi; (d) analisis terhadap pelanggan (khususnya pada peserta didik yang masuk);  dan (e) analisis manajemen MBS   (Dirjen Dikdasmen, 2006; Bafadal, I. 2003); (2) melakukan analisis tentang proses layanan pendidikan, misalnya: (a) analisis efektivitas proses belajar mengajar; (b) analisis kepemimpinan sekolah yang demokratis; (c) analisis pengelolaan SDM dan keuangan yang efektif, transparan dan akuntabel; (d) analisis sekolah berbudaya mutu; (e) analisis sekolah yang memiliki teamwork yang kompak, cerdas, visioner dan dinamik; (f) analisis kemandirin dalam pengelolaan sumber daya sekolah; dan sebagainya (Dirjen Dikdasmen, 2006); dan (3) melakukan analisis output pendidikan, misalnya: (a) analisis kualitas karya sekolah; (b) analisis produktivitas warga sekolah; (c) analisis lulusan dengan kebutuhan masyarakat; dan sebagainya.
c. Metode analisis ekonometrik. Metode ini memakai data empirik, statistik, kuantitatif dan teori ekonomi dalam mengukur perubahan untuk hubungannya dengan ekonomi. Metode ini lebih dekat dengan pendekatan perencanaan pendidikan model untung rugi atau  keefektifan biaya. Sebagai penyusun perencanaan pendidikan yang menggunakan metode ini, hal-hal yang perlu dilakukan adalah: (1) melakukan analisis secara empirik atau kuantitatif tentang sumber daya dan sumebr dana yang dimiliki oleh lembaga, yang berpotensi untuk bisa dikembangkan secara maksimal dalam rangka meraih keuntungan finansial secara maksimal; dan (2) melakukan analisis  tentang peluang output dari layanan pendidikan yang dapat terserap oleh dunia usaha atau industri, sehingga layanan pendidikan yang diberikan betul-betul mempunyai nilai ekonomis yang tinggi. Oleh karena proses layanan pendidikan yang tidak bernilai produktif (memberi nilai ekonomis) harus ditiadakan.
d. Metode diagram sebab akibat. Metode ini dipakai dalam perencanaan yang menggunakan sekuen hipotetik untuk mendapatkan gambaran masa depan yang lebih baik. Metode ini hampir sama dengan pendekatan strategik. Sebagai penyusun perencanaan pendidikan yang menggunakan metode ini, hal-hal yang perlu dilakukan adalah: (1) melakukan analisis beragam problem atau beragam tantangan yang akan dihadapi oleh dunia pendidikan di masa yang akan datang. Oleh karena itu diperlukan adanya analisis SWOT (Strength atau kekuatan, Weakness atau kelemahan, Opportunity atau kesempatan, and Threat atau ancaman) secara cermat pada semua aspek atau bidang-bidang pendidikan yang akan dikembangkan. Tujuan dilakukan analisis SWOT adalah untuk mengenali tingkat kesiapan setiap bidang pendidikan atau aspek kelembagaan yang diperlukan untuk mencapai tujuan pendidikan; dan (2) melakukan analisis tindakan atau langkah-langkah yang tepat, yang dapat dilaksanakan dalam menghadapi beragam tantangan atau problem yang muncul pada era yang akan datang.
e. Metode analisis siklus kehidupan. Metode ini dipakai untuk mengalokasikan sumber daya yang ada di sekolah dengan memperhatikan siklus kehidupan produksi atau output layanan pendidikan (lulusan), proyek, program dan proses kegiatan layanan pendidikan. Tahapan yang perlu diperhatikan oleh penyusun perencanaan pendidikan yang menggunakan metode ini, adalah: (1) melakukan konseptualisasi program-program dalam perencanaan pendidikan; (2) spesifikasi program-program dalam perencanaan pendidikan; (3) pengembangan prototipe layanan pendidikan; (4) pengujian dan evaluasi program-program dalam perencanaan pendidikan; (5) operasi; dan (6) produk atau output layanan pendidikan (lulusan).
f. Metode proyeksi. Metode ini paling banyak dipakai dalam perencanaan pendidikan di tingkat mikro (lembaga satuan pendidikan). Perencanaan pendidikan yang menggunakan metode proyeksi, akan menghasilkan cara (metode) pemecahan masalah penduduk lima tahunan, data persekolahan, proyeksi penduduk usia sekolah, proyeksi siswa, proyeksi ruang kelas, dan proyeksi kebutuhan guru. Dalam metode ini paling tidak ada tiga metode proyeksi, yaitu:
1)    Angka pertumbuhan siswa. Angka pertumbuhan siswa adalah perhitungan kenaikan siswa setiap tahunnnya, dengan menggunakan rumus:
Sn-1 – Sn-2
Apn =                                   X 100 %
Sn-2
Keterangan:
Apn  = Angka Pertumbuhan siswa tahun n
Sn-1 = Siswa tahun n-1
Sn-2 = Siswa tahun n-2
2)    Kohort siwa. Kohort adalah satu angkatan siswa yang masuk kelas 1 (awal) sampai tamat sekolah. Contoh, pada tahun pelajaran 2010-2011 siswa yang masuk kelas VII SMP/ MTs berjumlah 500 orang,kemudian tiga tahun berikutnya  2012-2013 yang lulus adalah 470 siswa (94%), sedangkan yang tidak lulus 30 siswa (6 %).
3)    Arus siswa. Proyeksi arus siswa ini akan memberikan gambaran yang lebih akurat dan tepat karena memberikan data yang mendekati kenyataan. Hal ini disebabkan proyeksi ini menggunakan berbagai parameter yang mengontrol hasil proyeksi tiga arus dari setiap tingkat, yaitu: (a) angka mengulang; (b) angka naik kelas; dan (c) angka putus sekolah (Usman, H. 2008).
2. Model perencanaan pendidikan
Ada beberapa model perencanaan pendidikan, yaitu: Pertama, model komprehensif. Model ini digunakan untuk menganalisis perubahan-perubahan dalam layanan pendidikan secara menyeluruh. Disamping itu, model ini berfungsi juga sebagai pedoman dalam menguraikan beragam rencana yang lebih khusus ke arah tujuan pendidikan yang lebih luas.
Kedua, model pembiayaan dan keefektifan biaya. Model ini digunakan untuk menganalisis proyek dengan kriteria efisiensi dan efektivitas pembiayan layanan pendidikan. Dengan model ini dapat diketahui proyek layanan pendidikan yang mana yang paling layak atau terbaik untuk didanai dan dikembangkan dibandingkan dengan proyek-proyek lainnya. Model ini hampir sama dengan pendekatan untung rugi.
Ketiga,  model Planning, Programming, Budgeting System (PPBS), yaitu model sistem perencanaan, pemrograman, dan penganggaran layanan pendidikan. Model ini banyak dipergunakan pada perencanaan pendidikan perguruan Tinggi Negeri. PPBS meruapakan suatu pendekatan sistematis dan komprehensif yang berusaha menentukan tujuan, mengembangkan program-program untuk dicapai dengan menggunakan anggaran seefisien dan seefektif mungkin, dan mampu menggambarkan kegiatan program pendidikan jangka panjang.
Keempat, model target setting.   Model ini dipergunakan untuk memperkirakan atau memproyeksi tingkat perkembangan dalam kurun waktu tertentu. Dalam persiapannya diperlukan model untuk analisis demografis dan proyeksi penduduk, model untuk memproyeksikan jumlah peserta didik di sekolah, dan model untuk memproyeksikan kebutuhan tenaga kerja. Persoalan yang muncul adalah, model yang manakah yang paling baik diterapkan dalam penyusunan perencanaan pendidikan?, Menurut para ahli sebaiknya model perencanaan pendidikan yang dipakai dalam proses layanan pendidikan di setiap satuan pendidikan adalah mengintegrasikan beberapa model tersebut di atas, dengan tetap memperhatikan situasi dan kondisi yang dihadapi oleh masing-masing lembaga pendidikan  (Abin, S. Makmun, dkk. 2001; Usman, H. 2008).
D. Kesimpulan
Uraian tentang konsep perencanan pendekatan dan model perencanaan pendidikan tersebut di atas dapat diambil pokok-pokok kajian sebagai kesimpulan sebagai berikut.
Pertama,  bahwa  konsep yang ada dalam pengertian perencanaan pendidikan, paling tidak mengandung lima hal, yaitu: (a) suatu rumusan rancangan  kegiatan yang ditetapkan berdasarkan visi, misi dan tujuan pendidikan; (b) memuat prosedur dalam  proses kegiatan untuk mencapai tujuan pendidikan; (c) merupakan alat kontrol pengendalian perilaku warga satuan pendidikan; (d) memuat rumusan hasil yang ingin dicapai dalam proses layanan pendidikan kepada peserta didik; dan (e) menyangkut masa depan proses pengembangan dan pembangunan pendidikan dalam waktu tertentu, yang lebih berkualitas.
Kedua,  manfaat perencanaan pendidikan adalah dapat digunakan sebagai: (a) standar pelaksanaan dan pengawasan proses layanan  pendidikan; (b) media pemilihan berbagai alternatif langkah strategi penyelesaian yang terbaik bagi upaya pencapaian tujuan pendidikan; (c) media mengefisiensikan dan mengefektifkan pemanfaatan beragam sumber daya lembaga pendidikan; (d) media untuk memudahkan dalam berkoordinasi dengan berbagai pihak atau lembaga pendidikan yang terkait, dalam rangka meningkatkan kualitas layanan pendidikan; dan (e) alat dalam mengevaluasi pencapaian tujuan proses layanan pendidikan.
Ketiga, suatu perencanaan pendidikan, paling tidak memiliki ciri atau karakteristik, yaitu perencanaan pendidikan harus: (a) berorientasi pada visi, misi kelembagaan yang akan diwujudkan; (b) mempunyai tahapan program jangka waktu tertentu yang akan dicapai secara berkesinambungan; (c) mengutamakan nilai-nilai manusiawi dan bermanfaat bagi dirinya dan masyarakatnya; (d) memberikan kesempatan untuk mengembangkan segala potensi peserta didik secara maksimal; (e) komprehensif dan sistematis serta disusun secara logis, rasional; (f) diorientasikan untuk mempersiapkan kualitas sumber daya manusia  yang berkualitas; (g) dikembangkan dengan memperhatikan keterkaitannya dengan berbagai komponen pendidikan secara sistematis; (h)  menggunakan sumber daya (resources) internal dan eksternal secermat mungkin; (i) berorientasi kepada masa dating atau visioner; dan (j) responsif terhadap kebutuhan yang berkembang di masyarakat dan bersifat dinamik; dan (k) merupakan sarana untuk mengembangkan inovasi pendidikan.
Keempat, beberapa prinsip yang harus diperhatikan dalam penyusunan perencanaan pendidikan, antara lain: (a) prinsip interdisipliner; (b) prinsip fleksibel; (c) prinsip efektifitas-efisiensi; (d)   prinsip progress of change; (e)  prinsip objektif, rasional dan sistematis; dan (f)  prinsip kooperatif-komprehensif; dan (g) prinsip human resources development.
Kelima, beberapa tahapan yang semestinya harus dilalui dalam penyusunan perencanaan pendidikan, antara lain: (a) tahap need assessment; (b)  tahap formulation of goals and objective; (c)   tahap policy and priority setting; (d) tahap program and project formulation; (e) tahap feasibility testing; (f) tahap plan implementation; dan (g)   tahap evaluation and revision for future plan.
Keenam, ada beragam pendekatan perencanaan pendidikan, yaitu: pendekatan kebutuhan sosial (social demand approach); pendekatan ketenagakerjaan (manpower approach); pendekatan untung rugi (cost and benefit approach); dan pendekatan keefektifan biaya (cost effectiveness approach).
Ketujuh, beberapa metode perencanaan pendidikan yang perlu dipahami oleh setiap penyusun perencanaan pendidikan, antara lain: (a) metode analisis sumber-cara-tujuan; (b) metode analisis masukan-keluaran; (c) metode analisis ekonometrik; (d) metode diagram sebab akibat; (e) metode analisis siklus kehidupan; dan (f) metode proyeksi. Kedelapan, ada beberapa model perencanaan pendidikan, yaitu: (a) model komprehensif, model ini digunakan untuk menganalisis perubahan-perubahan dalam layanan pendidikan secara menyeluruh; (b) model pembiayaan dan keefektifan biaya,  model ini digunakan untuk menganalisis proyek dengan kriteria efisiensi dan efektivitas pembiayan layanan pendidikan; (c)  model Planning, Programming, Budgeting System (PPBS), yaitu model sistem perencanaan, pemrograman, dan penganggaran layanan pendidikan; dan (d)  model target setting, model ini dipergunakan untuk memperkirakan atau memproyeksi tingkat perkembangan dalam kurun waktu tertentu.
DAFTAR PUSTAKA
Abin, S. Makmun, dkk. 2001. Perencanaan Pembangunan Pendidikan. Depdiknas. Jakarta.
Atmadi, A dan Setiyaningsih (Ed). 2000. Transformasi Pendidikan, Memasuki Milenium Ketiga. Universitas Sanata Dharma. Yogyakarta.
Arifin, 2007. “Problematika SDM Guru Dalam Penerapan KTSP (Sebuah Renungan mencari jalan keluar)”. Jurnal, Media, Pendidikan dan Kebudayaan Propinsi Jawa Timur. No. 08 /Th.XXXVII / Oktober 2007. hal: 62-65.
Bafadal, Ibrahim. 2003. Manajemen Peningkatan Mutu Sekolah Dasar. Bumi Aksara. Jakarta.
Banghart, F.W and Trull, A. 1990. Educational Planning. New York: The MacMillan. Company.
Bell Gredler, Margaret E., 1986. Learning and Intruction: Theory into Practice. New York: Macmillan Publishing Company.
BSNP, 2006. Standar Isi. Badan Standar Nasional Pendidikan, Jakarta.
Dahana, OP and Bhatnagar, OP. 1980. Education and Communication for Development,  Oxford & LBH Publishing C.O. New Delhi.
Depdiknas, 2001. Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah. Direktorat Jendral Pendidikan Dasar dan Menengah, Direktorat Pendidikan Menengah Umum. Jakarta.
____, 2003, Undang Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional. Depdiknas. Jakarta.
____, 2005,a. Undang Undang Republik Indonesia Nomor 14 tahun 2005, tentang Guru dan Dosen.
____, 2005,b. Standar Nasional Pendidikan. PP. Nomor 19 Tahun 2005. Depdiknas, Jakarta.
____, 2006. Pemberdayaan Komite Sekolah. Dirjen Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah. Jakarta.
Djohar, 1999. Reformasi dan Masa Depan Pendidikan di Indonesia. IKIP. Yogyakarta
Langgulung, H., 1992. Asas-asas Pendidikan Islam. Pustaka Al Husna. Jakarta
Mulyasa, E. 2003, Menjadi Kepala Sekolah Profesional. Remaja Rosdakarya. Bandung.
Sa’ud, S. dan Makmun A,S. 2007. Perencanaan Pendidikan, Suatu Pendekatan Komprehensif. Remaja Rosdakarya. Jakarta.
Sagala, S. 2009. Manajemen Strategik Dalam Peningkatan Mutu Pendidikan. Alfabeta. Bandung.
Sanjaya, W., 2007. Strategi Pembelajaran, Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Penerbit Kencana Prenada Media Group. Jakarta.
Soenarya, E. 2000. Pengantar Teori Perencanaan Pendidikan Berdasarkan Pendekatan Sistem. Adicita. Yogyakarta.
Tilaar.H.A.R. 1998. Manajemen Pendidikan Nasional (Kajian Pendidikan Masa Depan). PT. Remaja Rosdakarya. Bandung.
Oliver, Paul, ed. 1996. The Management of Education Change. England: Asghate Publishing Limited.

Usman, H. 2008. Manajemen Teori Praktik dan Riset Pendidikan.Bumi Aksara. Jakarta.
Vebriarto. 1982. Pengantar Perencanaan Pendidikan. Penerbit Paramita. Yogyakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pendampingan Pemanfaatan Buku Bacaan Bermutu (BBB) di SDN 1 Sambon Kec. Banyudono Kab. Boyolali

 Assalamu'alaikum... Sugeng Enjang.... Halo, kali ini saya akan menyampaikan kegiatan Pendampingan Pemanfaatan Buku Bacaan Bermutu (BBB)...