Selasa, 21 Mei 2013

sosiologi pendidikan ruang kelas :)


BAB I
PENDAHULUAN

Dalam perspektif sosiologi, kelas merupakan bagian dari mikrososiologi yang menelaah kehidupan kelompok sosial di sekolah dengan keseluruhan dinamika yang terjadi di dalamnya. Di dalam kelas  terdapat kumpulan individu-individu yang membentuk suatu kelompok sosial yang teratur dan memiliki fungsi dan peran yang kompleks dalam kacamata pendidikan. Ruang kelas memenuhi standar definisi kelompok sosial karena sekumpulan orang yang memiliki kesadaran bersama akan keanggotaan dan saling berinteraksi (Horton dan Hunt, 1984). Hakikat keberadaan kelompok sosial bukan tergantung dari jauh atau  dekatnya jarak fisik, melainkan pada kesadaran untuk saling berinteraksi, sehingga kelas bersifat permanen dan tidak hanya suatu agregasi atau kolektivitas semata. Pada akhirnya, peran dan fungsi yang diembannya dalam struktur pendidikan lebih terjamin. (pdf internet)


















BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Kelas
Ada dua pengertian kelas yang dihubungkan dengan kata sekolah. Pertama, ruang tempat berjalannya proses pendidikan. Kedua, sejumlah pelajar yang sama-sama menmpuh suatu tingkatan tertentu dalam sebuah lembaga pendidikan. Pada pengertian pertama, kelas merupakan ruangan tertentu dengan arsitektur tertentu juga (sebagai ciri khas ruangan sekolah) tempat kegiatan siswa dalam mengikuti proses pendidikan. Sedangkan kelas dalam pengertian kedua adalah jenjang pendidikan pada tingkatan tertentu.[1] Namun, yang akan dibahas dalam makalah ini adalah kelas pada pengertian pertama, yakni ruang tempat berjalannya proses pendidikan.

B.     Pengertian Sistem Sosial
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesi edisi ketiga, ditemukan bahwa kata sistem memiliki tiga arti, yaitu: satu, pertangkat unsur yang secara teratur saling berkaitan sehingga membentuk suatu totalitas. Dua, susunan teratur dari pandangan, teori, asas, dan sebagainya. Tiga, metode. Dari arti-arti tersebut, dapat dipahami bahwa sistem merupakan suatu keteraturan hubungan antar unsur-unsur atau bagian-bagian sehingga membentuk totalitas.
Robert M.Z Lawang mengungkapkan bahwa sistem merupakan suatu saling ketergantungan antara satu komponen dan komponen lainnya dalam hubungan timbal balik yang konstan. Konstan berarti apa yang terjadi kemarin merupakan perulangan dari yang sebelumnya, dan besok akan diulangi lagi dengan cara yang sama. Dari padangan tersebut, dapat disimpulkan bahwa sistem merupakan suatu kelompok elemen-elemen yang saling berhubungan secara interdependen (saling ketergantungan) dan konstan.
Kata sosial dapat dipahami debagai pertemanan atau masyarakat. Apabila ditelusuri dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi ketiga, kata sosial berkenaan dengan dua arti, yaitu: satu, berkenaan dengan masyarakat. Dua, suka memperhatikan kepentingan umum (suka menolong dan menderma), dalam bentuk ragam cakapan. Dapat disimpulkan bahwa kata sosial dapat dipahami sebagai sesuatu yang dihubungkan atau dikaitkan dengan teman, pertemanan, atau masyarakat.
Dari pengertian sistem dan sosial yang telah dijabarkan diatas, maka dapat dipahami bahwa sistem sosial merupakan saling keterkaitan yang teratur antar individu sehingga membentuk totalitas.[2]

C.     Ruang Kelas Sebagai Suatu Sistem Sosial  
Ruang kelas terdiri dari beberapa unsur yang fungsional satu sama lain, yakni guru, murid, dan manajemen sekolah. Status sebagai manajemen sekolah memainkan peran sebagai pengelola dari sisi teknik administratif dan menyediakan sarana prasana yang dibutuhkan. Kemudian status guru diharapkan berperilaku sebagai seorang pendidik, pengasuh serta pemberi motivasi. Adapun status sebagai murid, diharapkan untuk berperilaku sebagai penuntut ilmu pengetahuan, pekerja keras, dan pencari kebenaran. Dalam suatu ruang kelas, antara guru dan murid dengan status dan peran mereka masing-masing mementuk suatujaringan hubungan yang terpola. Pola jaringan hubungan antara guru dan murid akan berdampak terhadap perilaku, kompetensi, kapital sosial dan budaya.

D.    Ruang kelas Sebagai Sistem Interaksi
Interaksi sosial diartikan sebagai suatu tindakan timbal balik atau saling berhubungan antara dua orang atau lebih melalui suatu kontak dan komunikasi dalam ketergantungan satu sama lain secara teratur dan merupakan suatu keseluruhan.[3] Hal ini berarti hubungan guru dan murid dalam suatu ruang kelas dapat dipandang sebagai suatu masyarakat, karena hubungan guru dan murid merupakan suatu interaksi sosial. Selain itu, hubungan guru dan murid dapat dipandang sebagai suatu sistem, yakni sebagai sekumpulan komponen yang saling berhubungan dalam ketergantungan satu sama lain secara teratur dan merupakan suatu keseluruhan. Oleh sebab itu, hubungan guru dan murid dapat disebut sebagai sistem interaksi sosial.

E.     Ruang Kelas Sebagai Sistem Petukaran
Ruang kelas dipandang terdiri dari bagian-bagian (individu atau kelompok) yang saling ketrgantungan dalam suatu pertukaran yang terpola. Atau dengan kata lain bagian atau unsur memiliki ketergantungan terhadap suatu pertukaran yang terus-menerus dan ajeg. Ruang kelas sebagai suatu sistem pertukaran dianalisis berdasarkan teori pertukaran. Untuk lebih memahami teori pertukaran, berikut ini akan dipaparkan teori perukaran dari George Caspar Homans, yaitu:
1.      Proporsi Sukses
“Dalam setiap tindakan, semakin sering suatu tindakan tertentu memperoleh hadiah, semakin besar kemungkinan orang melakukan tindakan itu.” Sebagai contoh, misalnya seorang anak dipuji karena penampilannya yag menarik, maka ia akan cenderung berpenampilan menarik lagi diwaktu-waktu berikutnya.
2.      Proporsi Stimulus
“Bila kejadian dimasa lalu stimulus tertentu atau seperangkat stimuli telah menyebabkan tindakan orang diberi hadiah, maka semakin mirip stimuli yang ada sekarang dengan stimuli dimasa lalu, makin besar kemungkinan orang melakukan tindakan serupa.” Seagai contoh, seorang pemancing yang melemparkan kalinya kedalam kolam yang keruh dan selalu berhasil menangkap ikan, maka pemancing tersebut akan lebih sering memncing dikolam yang keruh kembali.
3.      Proporsi Nilai
“Semakin tinggi nilai suatu tindakan, maka besar kemungkinan seseorang melakukan tindakan itu.” Sebagai contoh misalnya, mana yang lebih berharga menonton konser grup band favorit yang telah lama diimpikan atau untuk belajar demi menghadapi ujian mid keesokan paginya? Jadi, seseorang harus memilih nonton konser yang berarti mengabaikan belajar, atau memilih belajar yang berarti mengabaikan kesempatan yang seumur hidup belum mungkin akan bertemu lagi. Hal itu berarti orang tersebut melakukan tindakan berdasarkan nilai yang paling tinggi dari pilihan yang ada.
4.      Proporsi Deprivasi-Situasi
“Semakin sering seseorang menerima hadiah tertentu dimasa lalu yang dekat, maka makin kurang bernilai baginya setiap ahdiah berikutnya.” Proporsi mengingatkan kemungkinan terjadinya kejenuhan sesuatu.
5.      Proporsi Agresi-Persetujuan
Proporsi A: “bila tindakan seseorang tidak memperoleh hadiah yang ia harapkan atau menerima hukuman yang tidak ia harapkan, ia akan marah, besar kemungkinan ia akan melakukan perilaku agresif dan akibatnya perilaku demikian menjadi lebih bernilai baginya.”
Proporsi B: “Bila tindakan seseorang memperoleh hadiah yang diharapkannya, terutama hadiah yang lebih besar dari yang ia harapkan, atau tidak menerima hukuman yang ia bayangkan, maka ia akan merasa senang, ia makin besar kemungkinannya melaksanakan perilaku yang disetujui dan hasil dari tindakan seperti ini akan menjadi lebih bernilai baginya.”
      Proporsi berlapis dua ini berkaitan dengan keadaan mental-emosional manusia. Sebagai contoh, seseorang yang tadi ingin menonton konser, ternyata tiketnya sudah habis, maka ia akan sangat merasa kecewa dan marah. Sebaliknya, jika ternyata dia bisa mendapatkan tiket, maka dia akan merasa senang.
6.      Proporsi Rasionalitas
“dalam memilih diantara berbagai tindakan alternatif, seseorang akan memilih satu diantaranya yang dianggap saat itu memiliki nilai, sebagai hasil, dikalikan dengan probabilitas untuk mendapatkan hasil yang lebih besar.”

F.      Teori Ruang Kelas
1.      Pendekatan Interaksi
Pendekatan ini memberikan perhatian khusus terhadap pengamatan metode pengajaran dalam mengelola ruang kelas yang efisien.
a.       Perilaku dominatif vs integratif
Perilaku dominatif guru mengesankan suatu bentuk kediktatoran dalam ruang kelas. Guru diposisikan sebagai sumber kebenaran dan dipandang sebagai makhluk yang maha tahu. Sebaliknya, anak dianggap makhluk bodoh, yang senantiasa perlu mendapat bimbingan dari guru. Adapun perilaku integratif akan menyebabkan terangkulnya bagian terbesar murid dalam aktivitas kelas. Guru diposisikan sebagai motivator dan inspirator. Guru memberikan dorongan, inspirasi dan motivasi kepada semua peserta didik tanpa pandang bulu.
H.H. Anderson merupakan satu diantara orang-orang yang pertama memasuki ruang kelas untuk menyelidiki pengaruh perilaku yang dominatif dan integratif pada anak-anak. Definisi Anderson tentang teknik-teknik dominasi sangat jelas, katanya: “Dominasi merupakan teknik kediktatoran”. Tetapi penelitiannya hanya sekedar menunjukkan bahwa guru-guru saling berbeda dalam menerapkan teknik-tekniknya, tanpa memberikan cukup bukti untuk membenarkan mana yang baik dilihat dari segi proses hasil belajar.[4]
b.      Gaya kepemimpinan Guru
Ada tiga jenis gaya kepemimpinan guru, yakni autokratik, demikratik, dan laisser-faire. Autokratik dicirikan dengan kepemimpinannya yang otoriter, tidak memberikan ruang untuk berbagi pendapat. Sementara gaya Laisser-faire dicirikan dengan kepemimpinannya yang cuek dan ruang untuk bertukar pendapat todak diperlukan karena peserta didik dibolehkan melakukan apa saja bila dia memandang sesuatu ini penting untuk dilakukan. Sedangkan gaya kepemimpinan demokratik merupakan suatu bentuk gaya yang perlu dikembangkan di sekolah. Anak-anak merasa puas dan senantiasa produktif dibawah pengasuhan guru yang demokratis.
Gaya kepemimpinan guru disekolah dapat mempengaruhi cara berpikir, merasa dan bertindak siswa dikemudian hari.[5]
c.       Teacher centred vs Learner centred
Withall mencoba menemukan pengaruh situasi sosial-emosional dalam ruang kelas. Ia membedakan antara guru-guru yang serba terpusat pada guru (teacher-centred) dan yang serba terpusat pada murid (Learner-centred)[6]. Semakin cenderung hubungan guru-murid ke arah teacher center, maka semakin besar ketergantungan murid terhadap guru, dan semakin kecil kemandirian murid. Sebaliknya, apabila hubungan guru-murid cenderung kearah learner-centered, maka semakin kurang ketergantungan murid terhadap guru dan semakin tingii kemndirian murid. Jadi, menurut Withal, guru dengan pendekatan learner centered lebih efektif pengajarannya diruang kelas dibandingkan dengan teacher centered.
2.      Pendekatan Interpretatif
Salah satu proses interpretatif dipahami Thomas sebagai definisi situasi. Bagi Thomas, suatu stimulus tidak langsung dilanjuti dengan tanggapan, tetapi melewati suatu proses penilaian dan pertimbangan melalui pemberian makna terhadap suatu stimulus yang diterima. Berkaitan dengan definisi situasi, salah satu gagasan penting dari Thomas yakni: “when men define situation as real, they are real in their consequences” (jika orang mendefinisikan situasi sebagai hal nyata, situasi itu nyata dalam konsekuensinya). Pernyataan tersebut dikuatkan oleh Waller, bahwa sekali situasi dipandang dengan cara tertentu dan dalam suatu konfigurasi tertentu, maka akan sangat sulit untuk melihatnya lagi dengan cara yang berbeda. Dengan cara pandang demikian, maka sekali guru mendefinisikan situasi hubungannya dengan seorang murid sebagai seorang yang bodoh, maka definisi ini akan terus digunakan, sehingga sukar mengubahnya. Bagi Waller, pendidikan merupakan seni menanamkan definisi-definisi situasi yang berlaku pada kaum muda dan sudah diterima oleh golongan penyelenggara. Dengan demikian sekolah merupakan satu alat ampuh untuk melakukan kontrol sosial.[7]
3.      Pendekatan Radikal
Teori pelabelan (teori labelling) merupakan salah satu teori terpenting dalam pendekatan radikal. Teori pelabelan memberikan penekanan pada signifikansi label (nama, reputasi) yang diberikan pada seseorang. Oleh karena itu, label dipandang menjadi agian dari konsep diri seseorang yang membawa kearah suatu persepsi maupun prasangka tertentu yang dikenakan pada dirinya.
Ray Rist melakukan suatu penelitian selama delapan hari pada guru taman kanak-kanak. Ny. Caplow (guru) menempatkan anak yang dianggapnya pembelajar cepat di meja 1 dan duduk dibagian depan kelas yang paling dekat dengan guru. Anak yang dianggap pembelajar lambat duduk dimeja 3 yang berada dipaling belakang, dan anak dengan kemampuan rata-rata duduk dimeja 2 yang terletak dibagian tengah. Ternyata setelah diselidiki lebih lanjut, Rist menemukan bahwa kelas sosial merupakan dasar yang melandasi penempatan anak-anak dimeja yang berbeda. Anak kelas mengengah duduk dimeja 1, anak yang lebih miskin duduk dimeja 2 dan meja 3. Guru memberikan perhatian terbesar pada anak-anak dimeja 1, lebih sedikit perhatian dimeja 2, dan perhatian terkecil ditujukan untuk meja 3. Anak-anak meja 1 mempersepsikan bahwa mereka diperlakukan lebih baik dan mulai menganggap bahwa mereka lebih pandai. Mereka menjadi pemimpin dikelas dan memanggil anak-anak meja lain dengan sebutan bodoh. Guru kelas 1 menempatkan mereka yang berasal dari meja 1 untuk duduk dimeja 1 kelas 1. Guru memperlakukan anak-anak meja 1 dengan istimewa dan mereka kembali memimpin kelas. Guru kelas dua juuga membagi kelasnya dalam tiga kelompok dan memberi nama meja 1 dengan sebutan macan, dan guru memberi bahan bacaan yang menantang. Kelompok kedua dinamakan perkutut dan kelompok 3 terdiri atas anak-anak yang tahun lalu tidak lulus dengan sebutan badut. Para perkutut dan badut mendapat bacaan yang kurang menantang. Kesimpulan yang diberikan oleh Rist adalah, perjalanan masing-masing anak selama sekolah ditentukan sejak hari kedelapan ditaman kanak-kanak.
Semakin bawah strata yang dimiliki murid taman kanak-kanak, maka semakin besar nomor meja, juga semakin rendah kualitas pemahaman elajar anak menurut guru, dan inilah yang cara yang dipandang sebagai pemberian label. Dampak pemberian label terhadap murid adalah persepsi atau prasangka tertentu yang dikenakan pada dirinya.bagi anak meja 1 memiliki prasangka positif terhadap dirinya atas label yang diberikan oleh gurunya. Sebaliknya, meja 2 dan 3 memiliki prasangka yang buruk terhadap dirinya.Persepsi ini menciptakan pembenaran ramalan pribadi, yaitu suatu ramalan yang mengawali serangkaian peristiwa, yang akhirnya mebuat ramalan ini benar-benar menjadi kenyataan, sehingga mereka dikelompokkan sama seperti apa yang mereka persepsikan seperti awalnya. Label membuat orang melakukan atensi selektif, dimana label menuntun kita untuk melihat hal tertentu dan menutup mata terhadap hal yang lain, meskipun ada bukti bahwa label yang menuntun ini salah.[8]

G.    Ruang Kelas dan Pemeliharaan Ketertiban serta Disiplin
Pemeliharaan ketertiban dan disiplin merupakan dua konsep yang berdekatan. Pemeliharaan ketertiban berkaitan dengan kemampuan diri untuk tertib sesuai dengan konstruksi sosial dan hukum yang ada. Adapun didplin merupakan kemapuan diri untuk taat, patuh, dan berkomitmen sesuai apa yang dipandang baik dan benar dalam kontruksi sosial, budaya, dan hukum. Dapat dipahami bahwa orang yang memilki disiplin akan melakukan pemeliharaan ketertiban. Murid yang disiplin, maka akan memelihara ketertiban, termasuk ketertiban ruang kelas.
Ketika ruang ruang kelas tidak tertib dan disiplin, maka salah satu akar dari persoalan ini mungkin dapat ditelusuri bagaimana guru mensosialisasikan ketaatan terhadap aturan perundangan yang ada dan komitmen terhadap rencana dan tujuan yang telah dirancang. Dari sisi guru ada beberapa hal yang menyebabkan sosialisasi tidak seperti yang diharapkan, yakni kegagalan memainkan peran guru, memahami konsep disiplin, atau ketiadaan dukungan kelembagaan.
Kegagalan memainkan peran guru yang diharapkan, seperti ketidakmampuan dalam mensosialisasikan nilai-nilai dan norma, dapat dialami oleh guru. Ketidakmampuan ini  dapat disebabkan karena persiapan peran sebagai guru yang tidak memadai.
Kegagalan memahami konsep disiplin tidak hanya dialami oleh guru sebagai pendidik, tetapi juga kebanyakan anggota masyarakat Indonesia. Mereka sering mengidentikkan konsep disiplin dengan kemampuan baris-berbaris maupun ketegasan seperti dalam komunitas militer. Konsep disiplin dalam komunitas militer dan non militer sama-sama memiliki esensi yang berkaitan dengan taat akan aturan dan komit terhadap rencana dan tujuan yang ada. Namun, perbedaannya ada dalam hal metode, penghargaan, dan hukuman.
Dalam komunitas militer, disiplin disosialisasikan dalam institusi total, yakni suatu tempat dimana sejumlah individu menghabiskan waktu yang cukup lama terlibat dan berperan dalam kehidupan yang diatur secara formal dan terpisah dari masyarakat luas, dalam hal ini kamp pelatihan militer.[9] Sementara dalam komunitas non militer, disiplin dikonstruksikan dalam ruang sosial yang ditandai oleh kesetaraan, demokrasi, anti kekerasan, dan persahabatan yang merupakan nilai dan norma yang dijunjung tinggi. Keteladanan, harga diri, kesadaran, dan motivasi merupakan metode-metode yang penting dalam penegakan kedisiplinan dalam komunitas non militer, yang selama ini diabaikan, termasuk oleh guru.
Guru tidak bisa mensosialisasikan norma bisa jadi disebabkan ketiadaan dukungan lembaga. Sekolah dalam kenyataanya tidak selalu meilikiaturan tentang kedisiplinan. Kalaupun ada, hanya beberapa pernyataan tentang boleh dan tidaknya sesuatu yang dilakukan oleh siswa selama berada disekolah, sementara sanksi dan hukuman terhadap sesuatu yang dilanggar bersifat tidak tertulis. Jadi, kesaan yang ditimbulkan adalah hukuman tergantung pada siapa yang memutuskannya tanpa standar yang dapat menjadi rujukan.

H.    Ruang Kelas dan Penggunaan bahasa
Menurut Horton dan Hunt, bahasa adalah suatu alat untuk menggambarkan kenyataan, dan perubahan dalam peggunaan bahasa dapat mengubah cara pandang orang terhadap kenyataan.
Penggunaan bahasa merupakan suatu hal yang sangat penting dalam proses pendidikan. Karena melalui bahasa, orang mendfinisikan, melabelkan, atau menjelaskan sehingga sesuatu itu menjadi jelas. Kemampuan guru menggunakan bahasa yang baik dengan intonasi yang sesuai, maka akan memudahkan murid untuk menerima ilmu yang diberikan oleh guru.

I.       Iklim Sosial Kelas
Menurut Faisal dan Yasik (1985) terdapat enam iklim sosial yang timbul di kelas yaitu sebagai berikut.
a.       Iklim Terbuka
Pada iklim terbuka ini, segala tingkah laku guru menggambarkan integrasi antara kepribadian seorang guru sebagai individu dan peranannya sebagai leader di dalam kelas. Selain memberikan kritik, guru juga mau menerima kritikan dari para siswa. Hubungan guru dengan siswa bersifat luwes atau fleksibel sehingga suasana yang seperti  ini dapat mempertinggi kreativitas siswa karena mereka dapat berkreasi tanpa adanya beban mental. Dan akibatnya, setiap murid biasanya dapat memperoleh kepuasan dalam melaksanakan tugas hubungan ini serta dapat memperlancar jalannya organisasi di kelas maupun organisasi di sekolah yang lebih luas.

b.      Iklim Mandiri
Dalam iklim mandiri, masing-masing mendasarkan pada kemampuan dan tanggung jawab yang dimiliki. Para siswa mendapatkan kebebasan dari guru untuk mendapatkan kebebasan kebutuhan belajar dan kebutuhan sosial mereka. Mereka tidak terlalu dibebani dengan tugas-tugas yang berat dan menyulitkan mereka. Yang lebih esensial dalam iklim mandiri ini, antara guru dan siswa bekerja sama dengan baik, penuh tenggang rasa, dan penuh kesungguhan hati. Kepercayaan dan tanggung jawab masing-masing membuat guru memberikan kelongggaran sehingga kontrol yang ketat tidak diperlukan karena para murid dipercaya memiliki moral yang cukup tinggi.

c.       Iklim Terkontrol
Dalam iklim terkontrol, titik sentral kebijakan seorang guru adalah menekankan pada pencapaian prestasi siswa di kelas, tetapi di sisi lain justru mengorbankan kepuasan kebutuhan sosial siswa. Karena tuntutan ini, para guru mengajar secara tidak fleksibel atau kaku. Para siswa sibuk dengan kesibukannya sendiri-sendiri sehingga tidak bisa mendapat kesempatan untuk membentuk hubungan kerja yang lebih akrab dan sosialitas tinggi. Fungsi pimpinan sangat dominan karena tidak adanya fleksibilitas dalam organisasi kelas tersebut. Setiap pembelajaran yang telah terjadwal dijalankan secara ketat, dan untuk menjaga keberlangsungan belajarnya guru menerangkan aturan yang keras disertai sanksi fisik atau nonfisik yang berlaku mulai saat itu juga.

d.      Iklim Persaudaraan
Pada jenis ini, hubungan yang terjadi antara guru dan siswa sangat erat, baik dalam kegiatan belajar maupun kegiatan di luar itu. Kepuasan terhadap pemenuhan kebutuhan sosial sangat menonjol, tetapi umumnya guru kurang mempunyai kegiatan yang berorientasi pada fase oriented. Para siswa tidak dibebani dengan tugas-tugas yang menyulitkan, sebab guru berusaha agar para siswa dapat bekerja semudah mungkin dan merasa senang. Kelas merupakan satu ikatan keluarga sehingga di antara mereka banyak terjalin komunikasi dan saling menasihati. Pendekatan guru terhadap anak didiknya sangat personal walaupun masih memerankan diri mereka sebagai pimpinan. Dalam kelas seperti ini tidak banyak aturan yang digunakan sebagai pedoman sehingga akibatnya tugas belajar kurang diperhatikan. Pengaruh lainnya, prestasi belajar kurang optimal karena tidak pernah mendapatkan kritik.

e.       Iklim Tertutup[10]
Dalam model ini, seorang guru tidak memberikan kepemimpinan yang memadai kepada para siswa. Ia mengharapkan agar setiap siswa mengembangkan inisiatif masing-masing. Namun ia tidak memberi kebebasan kepada para siswa untuk merealisasikan inisiatif tersebut secara nyata karena tidak adanya keterbukaan dan komunikasi yang efektif. Antara siswa yang satu dengan yang lain kurang dapat bekerja sama dengan baik. Akibatnya, prestasi yang dicapai pun tidak optimal karena seringkali timbul perbedaan persepsi dan pandangan tentang prestasi yang harus ditargetkan. Para guru menerapkan aturan-aturan yang semuanya bersifat sepihak dan kurang memperhatikan kepentingan siswanya.

J.       Dinamika Hubungan Murid-Murid di Ruang Kelas
Beberapa hal yang mempengaruhi dinamika kelas antara lain:
1.      Ukuran Kelas
Ruang kelas yang diisi oleh siswa yang terlalu banyak akan menyulitkan bagi guru untuk melakukakan proses dan pencapaian tujuan pembelajaran seperti yang telah dicita-citakan. Semakin sedikit jumlah peserta didik dalam ruang kelas, maka semakin baik proses dan pencapaian tujuan pembelajaran dan pendidikan. Jumlah yang diidealkan berkisar 20 orang per guru. Dengan jumlah yang demikian ini, maka hubungan sosial antara guru dan murid menjadi lebih intens, akrab, dan lebih personal.
Ruang kelas kecil jika diisi dengan jumlah murid yang sedikit, maka akan lebih dinamis. Jumlah peserta didik yang besar pada ruang kelas kecil akan terkesan lebih sumpek dan ribut. Namun apabila ruang kelas yang besar dan diisi dengan murid yang esar pula, makan guru tidak akan mampu mnguasai secara efektif proses pembelajaran. Sebaliknya apabila ruang kelas yang besar diisi dengan murid yang sedikit, maka akan terkesan senyap.

2.      Konteks Sosial Kelas
Konteks sosial kelas meliputi beberapa aspek dari latar belakang murid seperti usia, jenis kelamin, ras, kesukuan, status sosial dan ekonomi.
Dalam suatu ruang kelas yang heterogen, perbedaan latar belakang yang mencerminkan stratifikasi sosial, akan mepengaruhi interaksi sosial antara guru dengan murid serta antar murid yang berbeda latar belakangnya.
Mengenai homogenitas, warga setiap kelas memiliki ciri homogenitas, antara lain dari segi usia peserta didik. Ada sekolah yang mencoba membuat  homogenitas siswa berdasarkan tingkat kecerdasan. Eberapa siswa yang memiliki kelebihan intelektual ditempatkan dalam satu kelas. Cara ini dianggap sebagai upaya mempertahankan kualitas dan mencari bibit unggul. Homogenitas hanya efektif untuk mengembangkan program-program khusus, sedangkan pendidikan yang ditujukan untuk mencerdaskan semua elemen masyarakat, dengan homogenitas kecerdasan, justru akan terhambat. Anak-anak yang memiliki tingkat kecerdasan kurang baik tidak akan terangsang untuk mengejar kemundurannya. Sebaliknya, dalam keadaan heterogenitas, kesadaran siswa bisa terpicu. Anak-anak yang lambat akan mudah mendapat rangsangan untuk meningkatkan kecerdasannya. Efek buruk dari homogenitas berdasarkan kcerdasan hanya akan menghasilkan dua kemungkinan. Pertama, memperburuk rasa rendah diri siswa yang kurang cerdas. Kedua, memicu kesombongan dikalangan anak-anak yang tergolong cerdas.[11]

3.      Teknologi Kelas
Teknologi kelas berupa pengaturan tempat duduk murid seperi setengah baris atau setengah lingkaran dan penggunaan komputer dapat mempengaruhi dinamika kelas. Secara umum,  anak-anak Indonesia menulis dari kiri ke kanan dan menggunakan tangan kanan. Pencahayaan selalu diposisikan kearah kiri. Kemudian, bila ruang kelas berbentuk segi empat, tempat duduk para siswa di Indonesia berderet dari depan kebelakang dan kesamping. Sementara itu, posisi papan tulis diletakkan ditengah-tengah dan meja guru dipinggirnya, baik sebelah kanan atau sebelah kiri.[12] Tempat duduk dengan posisi yang demikian berpengaruh terhadap intensitas komunikasi antara siswa dan guru. Tata letak duduk para siswa juga dapat mempengaruhi dinamika kelas. Tata letak duduk siswa yang berbentuk setengah lingkaran maupun lingkaran akan menciptakan ruang kelas lebih dinamis. Karena, tata letak setengah lingkaran atau lingkaran memberikan posisi yang menyebabkan para siswa saling memandang dan mengetahui ekspresi satu sama lain.
      Penggunaan teknologi informasi dalam proses pembelajaran dan pendidikan dapat memperlancar dinamika siswa dalam ruang kelas. Penggunaan komputer oleh peserta didik, perlu diarahkan oleh guru, sehingga proses dan tujuan pembelajaran dan pendidikan dapat dicapai seperti yang diinginkan.
4.      Struktur Komunikasi
Struktur komunikasi dua arah antara para murid dan guru akan menciptakan ruang kelas yang dinamis. Struktur komunikasi antara guru dan murid, tidak lepas dari tipe kepemimpinan guru dikelas, pandangan guru tentang hubungannya dengan para peserta didik, dan budaya sekolah yang melingkupinya.[13]
5.      Suasana Sosial
Suasana Sosial suatu kelas berkaitan dengan bagaiman atmosfer dari suatu kelas dihuungkan dengan ketergantungan, keharmonisan, penghargaan, dan pengakuan. Ruang kelas merupakan tempat terjadinya sosialisasi dan implementasi nilai, norma, dan pengetahuan, dan ketrampilan. Nilai-nilai kemandirian, kejujuran, persaingan sehat, optimisme, dan kerja keras merupakan nilai-nilai yang disosialisasikan diruang kelas. Dengan sosialisasi ini akan menciptakan ruang kelas yang lebih dinamis dalam proses pemelajaran dan pendidikan sekolah.


BAB III
KESIMPULAN






























DAFTAR PUSTAKA

Damsar. 2011. Pengantar Sosiologi Pendidikan. Jakarta: Kencana
Mahmud. 2012. Sosiologi Pendidikan. Bandung: Pustaka Setia
Rifa’i, Muhammad. Sosiologi Pendidikan. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media
Robinson, Philip. 1986. Beberapa Perspektif Sosiologi Pendidikan. Jakarta: Rajawali



[1] Mahmud, Sosiologi Pendidikan, (Bandung: Pustaka Setia, 2012), hal. 171
[2] Damsar, Pengantar Sosiologi Pendidikan, (Jakarta: Kencana, 2011), hal. 96
[3] Ibid., hal. 98
[4] Philip Robinson, Beberapa Perspektif Sosiologi Pendidikan, (Jakarta: Rajawali, 1986), hal. 127
[5] Damsar, Pengantar Sosiologi Pendidikan, (Jakarta: Kencana, 2011), hal. 106
[6] Philip Robinson, Beberapa Perspektif Sosiologi Pendidikan..., hal. 129
[7] Ibid.,  hal. 135
[8] Damsar, Pengantar Sosiologi Pendidikan..., hal. 109-110
[9] Ibid.,  hal. 113
[11] Mahmud, Sosiologi Pendidikan..., hal. 172
[12] Ibid., hal. 173
[13] Damsar, Pengantar Sosiologi Pendidikan..., hal. 121

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

NILAI PAS KELAS 2A

Blok Pink: Siswa Tahfidz