BAB I
PENDAHULUAN
Dalam perspektif sosiologi, kelas merupakan
bagian dari mikrososiologi yang menelaah kehidupan kelompok sosial di
sekolah dengan keseluruhan dinamika yang terjadi di dalamnya. Di dalam
kelas terdapat kumpulan
individu-individu yang membentuk suatu kelompok sosial yang teratur dan
memiliki fungsi dan peran yang kompleks dalam kacamata pendidikan. Ruang kelas
memenuhi standar definisi kelompok sosial karena sekumpulan orang yang memiliki
kesadaran bersama akan keanggotaan dan saling berinteraksi (Horton dan Hunt,
1984). Hakikat keberadaan kelompok sosial bukan tergantung dari jauh atau dekatnya jarak fisik, melainkan pada
kesadaran untuk saling berinteraksi, sehingga kelas bersifat permanen dan tidak
hanya suatu agregasi atau kolektivitas semata. Pada akhirnya, peran dan fungsi
yang diembannya dalam struktur pendidikan lebih terjamin. (pdf internet)
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Kelas
Ada dua pengertian kelas yang
dihubungkan dengan kata sekolah. Pertama, ruang tempat berjalannya proses
pendidikan. Kedua, sejumlah pelajar yang sama-sama menmpuh suatu tingkatan
tertentu dalam sebuah lembaga pendidikan. Pada pengertian pertama, kelas
merupakan ruangan tertentu dengan arsitektur tertentu juga (sebagai ciri khas
ruangan sekolah) tempat kegiatan siswa dalam mengikuti proses pendidikan.
Sedangkan kelas dalam pengertian kedua adalah jenjang pendidikan pada tingkatan
tertentu.[1]
Namun, yang akan dibahas dalam makalah ini adalah kelas pada pengertian
pertama, yakni ruang tempat berjalannya proses pendidikan.
B.
Pengertian Sistem Sosial
Dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesi edisi ketiga, ditemukan bahwa kata sistem memiliki
tiga arti, yaitu: satu, pertangkat unsur yang secara teratur saling berkaitan
sehingga membentuk suatu totalitas. Dua, susunan teratur dari pandangan, teori,
asas, dan sebagainya. Tiga, metode. Dari arti-arti tersebut, dapat dipahami
bahwa sistem merupakan suatu keteraturan hubungan antar unsur-unsur atau
bagian-bagian sehingga membentuk totalitas.
Robert
M.Z Lawang mengungkapkan bahwa sistem merupakan suatu saling ketergantungan
antara satu komponen dan komponen lainnya dalam hubungan timbal balik yang
konstan. Konstan berarti apa yang terjadi kemarin merupakan perulangan dari
yang sebelumnya, dan besok akan diulangi lagi dengan cara yang sama. Dari
padangan tersebut, dapat disimpulkan bahwa sistem merupakan suatu kelompok
elemen-elemen yang saling berhubungan secara interdependen (saling
ketergantungan) dan konstan.
Kata
sosial dapat dipahami debagai pertemanan atau masyarakat. Apabila ditelusuri
dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi ketiga, kata sosial berkenaan dengan
dua arti, yaitu: satu, berkenaan dengan masyarakat. Dua, suka memperhatikan
kepentingan umum (suka menolong dan menderma), dalam bentuk ragam cakapan.
Dapat disimpulkan bahwa kata sosial dapat dipahami sebagai sesuatu yang
dihubungkan atau dikaitkan dengan teman, pertemanan, atau masyarakat.
Dari
pengertian sistem dan sosial yang telah dijabarkan diatas, maka dapat dipahami
bahwa sistem sosial merupakan saling keterkaitan yang teratur antar individu
sehingga membentuk totalitas.[2]
C.
Ruang Kelas Sebagai Suatu Sistem Sosial
Ruang kelas terdiri dari beberapa
unsur yang fungsional satu sama lain, yakni guru, murid, dan manajemen sekolah.
Status sebagai manajemen sekolah memainkan peran sebagai pengelola dari sisi
teknik administratif dan menyediakan sarana prasana yang dibutuhkan. Kemudian
status guru diharapkan berperilaku sebagai seorang pendidik, pengasuh serta
pemberi motivasi. Adapun status sebagai murid, diharapkan untuk berperilaku
sebagai penuntut ilmu pengetahuan, pekerja keras, dan pencari kebenaran. Dalam
suatu ruang kelas, antara guru dan murid dengan status dan peran mereka
masing-masing mementuk suatujaringan hubungan yang terpola. Pola jaringan
hubungan antara guru dan murid akan berdampak terhadap perilaku, kompetensi,
kapital sosial dan budaya.
D.
Ruang kelas Sebagai Sistem Interaksi
Interaksi sosial diartikan sebagai
suatu tindakan timbal balik atau saling berhubungan antara dua orang atau lebih
melalui suatu kontak dan komunikasi dalam ketergantungan satu sama lain secara
teratur dan merupakan suatu keseluruhan.[3]
Hal ini berarti hubungan guru dan murid dalam suatu ruang kelas dapat dipandang
sebagai suatu masyarakat, karena hubungan guru dan murid merupakan suatu
interaksi sosial. Selain itu, hubungan guru dan murid dapat dipandang sebagai
suatu sistem, yakni sebagai sekumpulan komponen yang saling berhubungan dalam
ketergantungan satu sama lain secara teratur dan merupakan suatu keseluruhan.
Oleh sebab itu, hubungan guru dan murid dapat disebut sebagai sistem interaksi
sosial.
E.
Ruang Kelas Sebagai Sistem Petukaran
Ruang kelas dipandang terdiri dari
bagian-bagian (individu atau kelompok) yang saling ketrgantungan dalam suatu
pertukaran yang terpola. Atau dengan kata lain bagian atau unsur memiliki ketergantungan
terhadap suatu pertukaran yang terus-menerus dan ajeg. Ruang kelas sebagai
suatu sistem pertukaran dianalisis berdasarkan teori pertukaran. Untuk lebih
memahami teori pertukaran, berikut ini akan dipaparkan teori perukaran dari
George Caspar Homans, yaitu:
1. Proporsi Sukses
“Dalam setiap tindakan, semakin sering suatu
tindakan tertentu memperoleh hadiah, semakin besar kemungkinan orang melakukan
tindakan itu.” Sebagai contoh, misalnya seorang anak dipuji karena
penampilannya yag menarik, maka ia akan cenderung berpenampilan menarik lagi
diwaktu-waktu berikutnya.
2. Proporsi Stimulus
“Bila kejadian dimasa lalu stimulus tertentu
atau seperangkat stimuli telah menyebabkan tindakan orang diberi hadiah, maka
semakin mirip stimuli yang ada sekarang dengan stimuli dimasa lalu, makin besar
kemungkinan orang melakukan tindakan serupa.” Seagai contoh, seorang pemancing
yang melemparkan kalinya kedalam kolam yang keruh dan selalu berhasil menangkap
ikan, maka pemancing tersebut akan lebih sering memncing dikolam yang keruh
kembali.
3. Proporsi Nilai
“Semakin tinggi nilai suatu tindakan, maka
besar kemungkinan seseorang melakukan tindakan itu.” Sebagai contoh misalnya,
mana yang lebih berharga menonton konser grup band favorit yang telah lama
diimpikan atau untuk belajar demi menghadapi ujian mid keesokan paginya? Jadi,
seseorang harus memilih nonton konser yang berarti mengabaikan belajar, atau
memilih belajar yang berarti mengabaikan kesempatan yang seumur hidup belum
mungkin akan bertemu lagi. Hal itu berarti orang tersebut melakukan tindakan
berdasarkan nilai yang paling tinggi dari pilihan yang ada.
4. Proporsi Deprivasi-Situasi
“Semakin sering seseorang menerima hadiah
tertentu dimasa lalu yang dekat, maka makin kurang bernilai baginya setiap
ahdiah berikutnya.” Proporsi mengingatkan kemungkinan terjadinya kejenuhan
sesuatu.
5. Proporsi Agresi-Persetujuan
Proporsi A: “bila tindakan seseorang tidak memperoleh
hadiah yang ia harapkan atau menerima hukuman yang tidak ia harapkan, ia akan
marah, besar kemungkinan ia akan melakukan perilaku agresif dan akibatnya
perilaku demikian menjadi lebih bernilai baginya.”
Proporsi B: “Bila tindakan seseorang memperoleh hadiah
yang diharapkannya, terutama hadiah yang lebih besar dari yang ia harapkan,
atau tidak menerima hukuman yang ia bayangkan, maka ia akan merasa senang, ia
makin besar kemungkinannya melaksanakan perilaku yang disetujui dan hasil dari
tindakan seperti ini akan menjadi lebih bernilai baginya.”
Proporsi
berlapis dua ini berkaitan dengan keadaan mental-emosional manusia. Sebagai
contoh, seseorang yang tadi ingin menonton konser, ternyata tiketnya sudah
habis, maka ia akan sangat merasa kecewa dan marah. Sebaliknya, jika ternyata
dia bisa mendapatkan tiket, maka dia akan merasa senang.
6. Proporsi Rasionalitas
“dalam memilih diantara berbagai tindakan
alternatif, seseorang akan memilih satu diantaranya yang dianggap saat itu
memiliki nilai, sebagai hasil, dikalikan dengan probabilitas untuk mendapatkan
hasil yang lebih besar.”
F.
Teori Ruang Kelas
1. Pendekatan Interaksi
Pendekatan ini memberikan perhatian khusus
terhadap pengamatan metode pengajaran dalam mengelola ruang kelas yang efisien.
a. Perilaku dominatif vs integratif
Perilaku dominatif guru mengesankan
suatu bentuk kediktatoran dalam ruang kelas. Guru diposisikan sebagai sumber
kebenaran dan dipandang sebagai makhluk yang maha tahu. Sebaliknya, anak
dianggap makhluk bodoh, yang senantiasa perlu mendapat bimbingan dari guru. Adapun
perilaku integratif akan menyebabkan terangkulnya bagian terbesar murid
dalam aktivitas kelas. Guru diposisikan sebagai motivator dan inspirator. Guru
memberikan dorongan, inspirasi dan motivasi kepada semua peserta didik tanpa
pandang bulu.
H.H. Anderson merupakan satu diantara
orang-orang yang pertama memasuki ruang kelas untuk menyelidiki pengaruh
perilaku yang dominatif dan integratif pada anak-anak. Definisi Anderson
tentang teknik-teknik dominasi sangat jelas, katanya: “Dominasi merupakan
teknik kediktatoran”. Tetapi penelitiannya hanya sekedar menunjukkan bahwa
guru-guru saling berbeda dalam menerapkan teknik-tekniknya, tanpa memberikan
cukup bukti untuk membenarkan mana yang baik dilihat dari segi proses hasil
belajar.[4]
b. Gaya kepemimpinan Guru
Ada tiga jenis gaya kepemimpinan guru, yakni
autokratik, demikratik, dan laisser-faire. Autokratik dicirikan dengan
kepemimpinannya yang otoriter, tidak memberikan ruang untuk berbagi pendapat.
Sementara gaya Laisser-faire dicirikan dengan kepemimpinannya yang cuek dan
ruang untuk bertukar pendapat todak diperlukan karena peserta didik dibolehkan
melakukan apa saja bila dia memandang sesuatu ini penting untuk dilakukan.
Sedangkan gaya kepemimpinan demokratik merupakan suatu bentuk gaya yang perlu
dikembangkan di sekolah. Anak-anak merasa puas dan senantiasa produktif dibawah
pengasuhan guru yang demokratis.
Gaya kepemimpinan guru disekolah dapat
mempengaruhi cara berpikir, merasa dan bertindak siswa dikemudian hari.[5]
c. Teacher centred vs Learner centred
Withall mencoba menemukan pengaruh situasi
sosial-emosional dalam ruang kelas. Ia membedakan antara guru-guru yang serba terpusat pada guru (teacher-centred)
dan yang serba terpusat pada murid (Learner-centred)[6].
Semakin cenderung hubungan guru-murid ke arah teacher center, maka
semakin besar ketergantungan murid terhadap guru, dan semakin kecil kemandirian
murid. Sebaliknya, apabila hubungan guru-murid cenderung kearah learner-centered,
maka semakin kurang ketergantungan murid terhadap guru dan semakin tingii
kemndirian murid. Jadi, menurut Withal, guru dengan pendekatan learner
centered lebih efektif pengajarannya diruang kelas dibandingkan dengan teacher
centered.
2. Pendekatan Interpretatif
Salah satu proses interpretatif dipahami
Thomas sebagai definisi situasi. Bagi Thomas, suatu stimulus tidak langsung
dilanjuti dengan tanggapan, tetapi melewati suatu proses penilaian dan pertimbangan
melalui pemberian makna terhadap suatu stimulus yang diterima. Berkaitan dengan
definisi situasi, salah satu gagasan penting dari Thomas yakni: “when men
define situation as real, they are real in their consequences” (jika orang
mendefinisikan situasi sebagai hal nyata, situasi itu nyata dalam konsekuensinya).
Pernyataan tersebut dikuatkan oleh Waller, bahwa sekali situasi dipandang
dengan cara tertentu dan dalam suatu konfigurasi tertentu, maka akan sangat
sulit untuk melihatnya lagi dengan cara yang berbeda. Dengan cara pandang
demikian, maka sekali guru mendefinisikan situasi hubungannya dengan seorang
murid sebagai seorang yang bodoh, maka definisi ini akan terus digunakan,
sehingga sukar mengubahnya. Bagi Waller, pendidikan merupakan seni menanamkan definisi-definisi situasi
yang berlaku pada kaum muda dan sudah diterima oleh golongan penyelenggara.
Dengan demikian sekolah merupakan satu alat ampuh untuk melakukan kontrol
sosial.[7]
3. Pendekatan Radikal
Teori pelabelan (teori labelling) merupakan
salah satu teori terpenting dalam pendekatan radikal. Teori pelabelan
memberikan penekanan pada signifikansi label (nama, reputasi) yang diberikan
pada seseorang. Oleh karena itu, label dipandang menjadi agian dari konsep diri
seseorang yang membawa kearah suatu persepsi maupun prasangka tertentu yang
dikenakan pada dirinya.
Ray Rist melakukan suatu penelitian selama
delapan hari pada guru taman kanak-kanak. Ny. Caplow (guru) menempatkan anak
yang dianggapnya pembelajar cepat di meja 1 dan duduk dibagian depan kelas yang
paling dekat dengan guru. Anak yang dianggap pembelajar lambat duduk dimeja 3
yang berada dipaling belakang, dan anak dengan kemampuan rata-rata duduk dimeja
2 yang terletak dibagian tengah. Ternyata setelah diselidiki lebih lanjut, Rist
menemukan bahwa kelas sosial merupakan dasar yang melandasi penempatan
anak-anak dimeja yang berbeda. Anak kelas mengengah duduk dimeja 1, anak yang
lebih miskin duduk dimeja 2 dan meja 3. Guru memberikan perhatian terbesar pada
anak-anak dimeja 1, lebih sedikit perhatian dimeja 2, dan perhatian terkecil
ditujukan untuk meja 3. Anak-anak meja 1 mempersepsikan bahwa mereka
diperlakukan lebih baik dan mulai menganggap bahwa mereka lebih pandai. Mereka
menjadi pemimpin dikelas dan memanggil anak-anak meja lain dengan sebutan
bodoh. Guru kelas 1 menempatkan mereka yang berasal dari meja 1 untuk duduk
dimeja 1 kelas 1. Guru memperlakukan anak-anak meja 1 dengan istimewa dan
mereka kembali memimpin kelas. Guru kelas dua juuga membagi kelasnya dalam tiga
kelompok dan memberi nama meja 1 dengan sebutan macan, dan guru memberi bahan
bacaan yang menantang. Kelompok kedua dinamakan perkutut dan kelompok 3 terdiri
atas anak-anak yang tahun lalu tidak lulus dengan sebutan badut. Para perkutut
dan badut mendapat bacaan yang kurang menantang. Kesimpulan yang diberikan oleh
Rist adalah, perjalanan masing-masing anak selama sekolah ditentukan sejak hari
kedelapan ditaman kanak-kanak.
Semakin bawah strata yang dimiliki murid
taman kanak-kanak, maka semakin besar nomor meja, juga semakin rendah kualitas
pemahaman elajar anak menurut guru, dan inilah yang cara yang dipandang sebagai
pemberian label. Dampak pemberian label terhadap murid adalah persepsi
atau prasangka tertentu yang dikenakan pada dirinya.bagi anak meja 1 memiliki
prasangka positif terhadap dirinya atas label yang diberikan oleh gurunya.
Sebaliknya, meja 2 dan 3 memiliki prasangka yang buruk terhadap
dirinya.Persepsi ini menciptakan pembenaran ramalan pribadi, yaitu suatu
ramalan yang mengawali serangkaian peristiwa, yang akhirnya mebuat ramalan ini
benar-benar menjadi kenyataan, sehingga mereka dikelompokkan sama seperti apa
yang mereka persepsikan seperti awalnya. Label membuat orang melakukan atensi
selektif, dimana label menuntun kita untuk melihat hal tertentu dan menutup
mata terhadap hal yang lain, meskipun ada bukti bahwa label yang menuntun ini
salah.[8]
G.
Ruang Kelas dan Pemeliharaan Ketertiban serta Disiplin
Pemeliharaan ketertiban dan
disiplin merupakan dua konsep yang berdekatan. Pemeliharaan ketertiban
berkaitan dengan kemampuan diri untuk tertib sesuai dengan konstruksi sosial
dan hukum yang ada. Adapun didplin merupakan kemapuan diri untuk taat, patuh,
dan berkomitmen sesuai apa yang dipandang baik dan benar dalam kontruksi
sosial, budaya, dan hukum. Dapat dipahami bahwa orang yang memilki disiplin
akan melakukan pemeliharaan ketertiban. Murid yang disiplin, maka akan
memelihara ketertiban, termasuk ketertiban ruang kelas.
Ketika ruang ruang kelas tidak
tertib dan disiplin, maka salah satu akar dari persoalan ini mungkin dapat
ditelusuri bagaimana guru mensosialisasikan ketaatan terhadap aturan
perundangan yang ada dan komitmen terhadap rencana dan tujuan yang telah
dirancang. Dari sisi guru ada beberapa hal yang menyebabkan sosialisasi tidak
seperti yang diharapkan, yakni kegagalan memainkan peran guru, memahami konsep
disiplin, atau ketiadaan dukungan kelembagaan.
Kegagalan memainkan peran guru
yang diharapkan, seperti ketidakmampuan dalam mensosialisasikan nilai-nilai dan
norma, dapat dialami oleh guru. Ketidakmampuan ini dapat disebabkan karena persiapan peran
sebagai guru yang tidak memadai.
Kegagalan memahami konsep disiplin
tidak hanya dialami oleh guru sebagai pendidik, tetapi juga kebanyakan anggota
masyarakat Indonesia. Mereka sering mengidentikkan konsep disiplin dengan
kemampuan baris-berbaris maupun ketegasan seperti dalam komunitas militer.
Konsep disiplin dalam komunitas militer dan non militer sama-sama memiliki
esensi yang berkaitan dengan taat akan aturan dan komit terhadap rencana dan
tujuan yang ada. Namun, perbedaannya ada dalam hal metode, penghargaan, dan
hukuman.
Dalam komunitas militer, disiplin
disosialisasikan dalam institusi total, yakni suatu tempat dimana sejumlah
individu menghabiskan waktu yang cukup lama terlibat dan berperan dalam
kehidupan yang diatur secara formal dan terpisah dari masyarakat luas, dalam
hal ini kamp pelatihan militer.[9]
Sementara dalam komunitas non militer, disiplin dikonstruksikan dalam ruang
sosial yang ditandai oleh kesetaraan, demokrasi, anti kekerasan, dan
persahabatan yang merupakan nilai dan norma yang dijunjung tinggi. Keteladanan,
harga diri, kesadaran, dan motivasi merupakan metode-metode yang penting dalam
penegakan kedisiplinan dalam komunitas non militer, yang selama ini diabaikan,
termasuk oleh guru.
Guru tidak bisa mensosialisasikan
norma bisa jadi disebabkan ketiadaan dukungan lembaga. Sekolah dalam kenyataanya
tidak selalu meilikiaturan tentang kedisiplinan. Kalaupun ada, hanya beberapa
pernyataan tentang boleh dan tidaknya sesuatu yang dilakukan oleh siswa selama
berada disekolah, sementara sanksi dan hukuman terhadap sesuatu yang dilanggar
bersifat tidak tertulis. Jadi, kesaan yang ditimbulkan adalah hukuman
tergantung pada siapa yang memutuskannya tanpa standar yang dapat menjadi
rujukan.
H.
Ruang Kelas dan Penggunaan bahasa
Menurut Horton dan Hunt, bahasa
adalah suatu alat untuk menggambarkan kenyataan, dan perubahan dalam peggunaan
bahasa dapat mengubah cara pandang orang terhadap kenyataan.
Penggunaan bahasa merupakan suatu
hal yang sangat penting dalam proses pendidikan. Karena melalui bahasa, orang
mendfinisikan, melabelkan, atau menjelaskan sehingga sesuatu itu menjadi jelas.
Kemampuan guru menggunakan bahasa yang baik dengan intonasi yang sesuai, maka
akan memudahkan murid untuk menerima ilmu yang diberikan oleh guru.
I.
Iklim Sosial Kelas
Menurut Faisal dan Yasik (1985)
terdapat enam iklim sosial yang timbul di kelas yaitu sebagai berikut.
a. Iklim Terbuka
Pada iklim terbuka ini, segala tingkah laku
guru menggambarkan integrasi antara kepribadian seorang guru sebagai individu
dan peranannya sebagai leader di dalam kelas. Selain memberikan kritik,
guru juga mau menerima kritikan dari para siswa. Hubungan guru dengan siswa
bersifat luwes atau fleksibel sehingga suasana yang seperti ini dapat mempertinggi kreativitas siswa
karena mereka dapat berkreasi tanpa adanya beban mental. Dan akibatnya, setiap
murid biasanya dapat memperoleh kepuasan dalam melaksanakan tugas hubungan ini
serta dapat memperlancar jalannya organisasi di kelas maupun organisasi di
sekolah yang lebih luas.
b. Iklim Mandiri
Dalam iklim mandiri, masing-masing
mendasarkan pada kemampuan dan tanggung jawab yang dimiliki. Para siswa
mendapatkan kebebasan dari guru untuk mendapatkan kebebasan kebutuhan belajar
dan kebutuhan sosial mereka. Mereka tidak terlalu dibebani dengan tugas-tugas
yang berat dan menyulitkan mereka. Yang lebih esensial dalam iklim mandiri ini,
antara guru dan siswa bekerja sama dengan baik, penuh tenggang rasa, dan penuh
kesungguhan hati. Kepercayaan dan tanggung jawab masing-masing membuat guru
memberikan kelongggaran sehingga kontrol yang ketat tidak diperlukan karena
para murid dipercaya memiliki moral yang cukup tinggi.
c. Iklim Terkontrol
Dalam iklim terkontrol, titik sentral
kebijakan seorang guru adalah menekankan pada pencapaian prestasi siswa di
kelas, tetapi di sisi lain justru mengorbankan kepuasan kebutuhan sosial siswa.
Karena tuntutan ini, para guru mengajar secara tidak fleksibel atau kaku. Para
siswa sibuk dengan kesibukannya sendiri-sendiri sehingga tidak bisa mendapat
kesempatan untuk membentuk hubungan kerja yang lebih akrab dan sosialitas
tinggi. Fungsi pimpinan sangat dominan karena tidak adanya fleksibilitas dalam
organisasi kelas tersebut. Setiap pembelajaran yang telah terjadwal dijalankan
secara ketat, dan untuk menjaga keberlangsungan belajarnya guru menerangkan
aturan yang keras disertai sanksi fisik atau nonfisik yang berlaku mulai saat
itu juga.
d. Iklim Persaudaraan
Pada jenis ini, hubungan yang terjadi antara
guru dan siswa sangat erat, baik dalam kegiatan belajar maupun kegiatan di luar
itu. Kepuasan terhadap pemenuhan kebutuhan sosial sangat menonjol, tetapi
umumnya guru kurang mempunyai kegiatan yang berorientasi pada fase oriented.
Para siswa tidak dibebani dengan tugas-tugas yang menyulitkan, sebab guru
berusaha agar para siswa dapat bekerja semudah mungkin dan merasa senang. Kelas
merupakan satu ikatan keluarga sehingga di antara mereka banyak terjalin
komunikasi dan saling menasihati. Pendekatan guru terhadap anak didiknya sangat
personal walaupun masih memerankan diri mereka sebagai pimpinan. Dalam kelas
seperti ini tidak banyak aturan yang digunakan sebagai pedoman sehingga
akibatnya tugas belajar kurang diperhatikan. Pengaruh lainnya, prestasi belajar
kurang optimal karena tidak pernah mendapatkan kritik.
e. Iklim Tertutup[10]
Dalam model ini, seorang guru tidak
memberikan kepemimpinan yang memadai kepada para siswa. Ia mengharapkan agar
setiap siswa mengembangkan inisiatif masing-masing. Namun ia tidak memberi
kebebasan kepada para siswa untuk merealisasikan inisiatif tersebut secara
nyata karena tidak adanya keterbukaan dan komunikasi yang efektif. Antara siswa
yang satu dengan yang lain kurang dapat bekerja sama dengan baik. Akibatnya,
prestasi yang dicapai pun tidak optimal karena seringkali timbul perbedaan
persepsi dan pandangan tentang prestasi yang harus ditargetkan. Para guru
menerapkan aturan-aturan yang semuanya bersifat sepihak dan kurang
memperhatikan kepentingan siswanya.
J.
Dinamika Hubungan Murid-Murid di Ruang Kelas
Beberapa hal yang mempengaruhi
dinamika kelas antara lain:
1. Ukuran Kelas
Ruang kelas yang diisi oleh siswa yang
terlalu banyak akan menyulitkan bagi guru untuk melakukakan proses dan
pencapaian tujuan pembelajaran seperti yang telah dicita-citakan. Semakin
sedikit jumlah peserta didik dalam ruang kelas, maka semakin baik proses dan
pencapaian tujuan pembelajaran dan pendidikan. Jumlah yang diidealkan berkisar
20 orang per guru. Dengan jumlah yang demikian ini, maka hubungan sosial antara
guru dan murid menjadi lebih intens, akrab, dan lebih personal.
Ruang kelas kecil jika diisi dengan jumlah
murid yang sedikit, maka akan lebih dinamis. Jumlah peserta didik yang besar
pada ruang kelas kecil akan terkesan lebih sumpek dan ribut. Namun apabila
ruang kelas yang besar dan diisi dengan murid yang esar pula, makan guru tidak
akan mampu mnguasai secara efektif proses pembelajaran. Sebaliknya apabila
ruang kelas yang besar diisi dengan murid yang sedikit, maka akan terkesan
senyap.
2. Konteks Sosial Kelas
Konteks sosial kelas meliputi beberapa aspek
dari latar belakang murid seperti usia, jenis kelamin, ras, kesukuan, status
sosial dan ekonomi.
Dalam suatu ruang kelas yang heterogen,
perbedaan latar belakang yang mencerminkan stratifikasi sosial, akan
mepengaruhi interaksi sosial antara guru dengan murid serta antar murid yang
berbeda latar belakangnya.
Mengenai homogenitas, warga setiap kelas
memiliki ciri homogenitas, antara lain dari segi usia peserta didik. Ada
sekolah yang mencoba membuat homogenitas
siswa berdasarkan tingkat kecerdasan. Eberapa siswa yang memiliki kelebihan
intelektual ditempatkan dalam satu kelas. Cara ini dianggap sebagai upaya
mempertahankan kualitas dan mencari bibit unggul. Homogenitas hanya efektif
untuk mengembangkan program-program khusus, sedangkan pendidikan yang ditujukan
untuk mencerdaskan semua elemen masyarakat, dengan homogenitas kecerdasan,
justru akan terhambat. Anak-anak yang memiliki tingkat kecerdasan kurang baik
tidak akan terangsang untuk mengejar kemundurannya. Sebaliknya, dalam keadaan
heterogenitas, kesadaran siswa bisa terpicu. Anak-anak yang lambat akan mudah
mendapat rangsangan untuk meningkatkan kecerdasannya. Efek buruk dari
homogenitas berdasarkan kcerdasan hanya akan menghasilkan dua kemungkinan.
Pertama, memperburuk rasa rendah diri siswa yang kurang cerdas. Kedua, memicu
kesombongan dikalangan anak-anak yang tergolong cerdas.[11]
3. Teknologi Kelas
Teknologi kelas berupa pengaturan tempat
duduk murid seperi setengah baris atau setengah lingkaran dan penggunaan
komputer dapat mempengaruhi dinamika kelas. Secara umum, anak-anak Indonesia menulis dari kiri ke kanan
dan menggunakan tangan kanan. Pencahayaan selalu diposisikan kearah kiri.
Kemudian, bila ruang kelas berbentuk segi empat, tempat duduk para siswa di
Indonesia berderet dari depan kebelakang dan kesamping. Sementara itu, posisi
papan tulis diletakkan ditengah-tengah dan meja guru dipinggirnya, baik sebelah
kanan atau sebelah kiri.[12]
Tempat duduk dengan posisi yang demikian berpengaruh terhadap intensitas
komunikasi antara siswa dan guru. Tata letak duduk para siswa juga dapat
mempengaruhi dinamika kelas. Tata letak duduk siswa yang berbentuk setengah
lingkaran maupun lingkaran akan menciptakan ruang kelas lebih dinamis. Karena,
tata letak setengah lingkaran atau lingkaran memberikan posisi yang menyebabkan
para siswa saling memandang dan mengetahui ekspresi satu sama lain.
Penggunaan
teknologi informasi dalam proses pembelajaran dan pendidikan dapat memperlancar
dinamika siswa dalam ruang kelas. Penggunaan komputer oleh peserta didik, perlu
diarahkan oleh guru, sehingga proses dan tujuan pembelajaran dan pendidikan
dapat dicapai seperti yang diinginkan.
4. Struktur Komunikasi
Struktur komunikasi dua arah antara para
murid dan guru akan menciptakan ruang kelas yang dinamis. Struktur komunikasi
antara guru dan murid, tidak lepas dari tipe kepemimpinan guru dikelas,
pandangan guru tentang hubungannya dengan para peserta didik, dan budaya
sekolah yang melingkupinya.[13]
5. Suasana Sosial
Suasana Sosial suatu kelas berkaitan dengan
bagaiman atmosfer dari suatu kelas dihuungkan dengan ketergantungan,
keharmonisan, penghargaan, dan pengakuan. Ruang kelas merupakan tempat
terjadinya sosialisasi dan implementasi nilai, norma, dan pengetahuan, dan
ketrampilan. Nilai-nilai kemandirian, kejujuran, persaingan sehat, optimisme,
dan kerja keras merupakan nilai-nilai yang disosialisasikan diruang kelas.
Dengan sosialisasi ini akan menciptakan ruang kelas yang lebih dinamis dalam
proses pemelajaran dan pendidikan sekolah.
BAB III
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
Damsar. 2011. Pengantar Sosiologi Pendidikan.
Jakarta: Kencana
Mahmud. 2012. Sosiologi Pendidikan. Bandung:
Pustaka Setia
Rifa’i, Muhammad. Sosiologi Pendidikan. Yogyakarta:
Ar-Ruzz Media
Robinson, Philip. 1986. Beberapa
Perspektif Sosiologi Pendidikan. Jakarta: Rajawali
Tidak ada komentar:
Posting Komentar