Selasa, 21 Mei 2013

pandangan ISLAM tentang demokrasi yuk marii


SIKAP ISLAM TERHADAP DEMOKRASI
Makalah ini disusun guna memenuhi tugas kelompok
Mata kuliah: Islam Budaya Lokal
Dosen Pengampu: Drs. Zainal Abidin 






Disusun Oleh :
1.      Asmadi Amiruddin                     08410173
2.      Rohmat Ainun Najib                  09410188
3.      Sutri cahyo Kusumo                   10410003
4.      Muhammad Nur Saddam          10400020
5.      Ichsan Wibowo                            10410069
6.      Chichi ‘Aisyatud D.Z                  10410006
7.      Anna Rif’atul Mahmudah         10410007
8.      Purwanti                                      10410021
9.      Lu’lu’ Nurhusna                         10410025
10.  Maria Ulfah                                 10410027
11.  Dwi Noventi                                 10410034
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
UIN SUNAN KALIJAGA
TAHUN 2013

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
B. Rumusan Masalah
PEMBAHASAN (ANALISIS)
A.    Pengertian Demokrasi
1.      Demokrasi adalah sebuah konsep yang datangnya bukan dari dunia Islam, tetapi dari dunia barat yang menyeluruh (universal).
2.      Menurut Joseph A. Scumpeter, demokrasi adalah suatu perencanaan instituasional untuk mencapai keputusan politik dimana individu-individu memperoleh kekuasaan  untuk memutuskan dengan cara perjuangan.
3.      Menurut Sidney Hook, demokrasi adalah bentuk pemerintahan dimana keputusan-keputusan pemerintah yang penting atau arah kebijaksanaan di balik keputusan ini secara langdung maupun tidak langsung didasarkan pada kesepakatan mayoritas yang diberikan secara bebas dari rakyat dewasa.[1]

B.     Sikap Islam terhadap demokrasi
Islam adalah agama egalitarian yang tidak membedakan manusia berdasarkan suku, bangsa, agama, ras dan keturunan. Jika terjadi ketidaksamaan diantara mereka, hanya semata-mata karena ketakwaan atau moralitas mereka.
Secara spesifik, dalam Islam tidak menyebutkan adanya demokrasi, tetapi nilai dan prinsip Islam mendukung gagasan universal tentang demokrasi. Misalnya dalam prinsip Islam yaitu:
1.      ‘Adl (Keadilan)
2.      Syura (musyawarah)
3.      Musawwah (kesetaraan).
Ketiga prinsip itu tidak hanya cocok dengan demokrasi, tetapi jika ditafsirkan secara benar, dalam dirinya sendiri sudah mengandung sebuah bentuk demokrasi. Sehingga, demokrasi adalah sarana terbaik untuk mewujudkan cita-cita kemanusiaan dan cita-cita kemasyarakatan Islam. Prinsip-prinsip itu dapat diimpelemtasikan  di seluruh wilayah publik, akan tetapi kebanyakan ilmuwan Muslim membatasinya pada wilayah politik (siyasah).[2]
Demokrasi sering diartikan sebagai penghargaan terhadap hak-hak asasi manusia, partisipasi dalam pengambilan keputusan dan persamaan hak di depan hukum. Dari sini kemudian muncul idiom-idiom demokrasi, seperti egalite (persamaan), equality (keadilan), liberty (kebebasan), human right (hak asasi manusia),  dst. Di dalam Islam Demokrasi ini masih menjadi bahan perdebatan diantara para Ulama dan intelektual Islam, untuk memposisikan Demokrasi secara tepat kita lihat dulu prinsip-prinsip Demokrasi dari pandangan para ulama, yaitu : Menurut Sadek, J. Sulayman, dalam demokrasi terdapat sejumlah prinsip yang menjadi standar baku. Di antaranya :
a.       Kebebasan berbicara setiap warga negara.
b.      Pelaksanaan pemilu untuk menilai apakah pemerintah yang berkuasa layak didukung kembali atau harus diganti.
c.       Kekuasaan dipegang oleh suara mayoritas tanpa mengabaikan kontrol minoritas
d.      Peranan partai politik yang sangat penting sebagai wadah aspirasi politik rakyat.
e.       Pemisahan kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif.
f.       Supremasi hukum (semua harus tunduk pada hukum).
g.      Semua individu bebas melakukan apa saja tanpa boleh dibelenggu
Sedangkan pendapat para Tokoh tentang Islam dan Demokrasi itu ialah sebagai berikut
a)      Al-Maududi
tokoh ini secara tegas menolak demokrasi. Menurutnya, Islam tidak mengenal paham ini yang memberikan kekuasaan besar kepada rakyat untuk menetapkan segala hal. Demokrasi adalah buatan manusia sekaligus produk dari dunia Barat terhadap agama sehingga cenderung sekuler. Karenanya, al-Maududi menganggap demokrasi modern (Barat) merupakan sesuatu yang bersifat syirik. Islam menganut paham teokrasi (berdasarkan hukum Tuhan). Tentu saja bukan teokrasi yang diterapkan di Barat pada abad pertengahan yang telah memberikan kekuasaan tak terbatas pada para pendeta.
b)      Mohammad Iqbal 
Intelektual Pakistan ternama Muhammad Iqbal sangat mengkritik adanya demokrasi. Menurutnya, sejalan dengan kemenangan sekularisme atas agama, demokrasi modern menjadi kehilangan sisi spiritualnya sehingga jauh dari etika. Demokrasi yang merupakan kekuasaan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat telah mengabaikan keberadaan agama. Parlemen sebagai salah satu pilar demokrasi dapat saja menetapkan hukum yang bertentangan dengan nilai agama kalau anggotanya menghendaki.  Atas dasar itu, Iqbal menawarkan sebuah konsep demokrasi spiritual yang dilandasi oleh etik dan moral ketuhanan. Jadi yang ditolak oleh Iqbal bukan demokrasinya melainkan, prakteknya yang berkembang di Barat. Iqbal menawarkan sebuah model demokrasi sebagai berikut :
-          Tauhid sebagai landasan asasi
-          Kepatuhan pada hukum
-          Toleransi sesama warga.
-          Tidak dibatasi wilayah, ras, dan warna kulit.
-          Penafsiran hukum Tuhan melalui ijtihad.
c)      Muhammad Imarah 
Menurut beliau Islam tidak menerima demokrasi secara mutlak dan juga tidak menolaknya secara mutlak. Dalam demokrasi, kekuasaan legislatif (membuat dan menetapkan hukum) secara mutlak berada di tangan rakyat. Sementara, dalam sistem syura (Islam) kekuasaan tersebut merupakan wewenang Allah yang memegang kekuasaan hukum tertinggi. Wewenang manusia hanyalah menjabarkan dan merumuskan hukum sesuai dengan prinsip yang digariskan Tuhan serta berijtihad untuk sesuatu yang tidak diatur oleh ketentuan Allah. Jadi, Allah berposisi sebagai al-Syâri’ (legislator) sementara manusia berposisi sebagai faqîh (yang memahami dan menjabarkan) hukum-Nya.
Demokrasi Barat berasal pada pandangan mereka tentang batas kewenangan Tuhan. Menurut Aristoteles, setelah Tuhan menciptakan alam, Dia membiarkannya. Dalam filsafat Barat, manusia memiliki kewenangan legislatif dan eksekutif. Sementara, dalam pandangan Islam, Allah-lah pemegang otoritas tersebut. Allah befirman Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Maha Suci Allah, Tuhan semesta alam. (al-A’râf: 54). Inilah batas yang membedakan antara sistem syariah Islam dan Demokrasi Barat. Adapun hal lainnya seperti membangun hukum atas persetujuan umat, pandangan mayoritas, serta orientasi pandangan umum, dan sebagainya adalah sejalan dengan Islam. 
d)      Yusuf al-Qardhawi
Menurut beliau, substansi demokrasi sejalan dengan Islam. Hal ini bisa dilihat dari beberapa aspek. Misalnya:
-          Dalam demokrasi proses pemilihan melibatkkan banyak orang untuk mengangkat seorang kandidat yang berhak memimpin dan mengurus keadaan mereka. Tentu saja, mereka tidak boleh memilih sesuatu yang tidak mereka sukai. Demikian juga dengan Islam. Islam menolak seseorang menjadi imam shalat yang tidak disukai oleh makmum di belakangnya.
-          Usaha setiap rakyat untuk meluruskan penguasa yang tiran juga sejalan dengan Islam. Bahkan amar makruf dan nahi mungkar serta memberikan nasihat kepada pemimpin adalah bagian dari ajaran Islam.
-          Pemilihan umum termasuk jenis pemberian saksi. Karena itu, barangsiapa yang tidak menggunakan hak pilihnya sehingga kandidat yang mestinya layak dipilih menjadi kalah dan suara mayoritas jatuh kepada kandidat yang sebenarnya tidak layak, berarti ia telah menyalahi perintah Allah untuk memberikan kesaksian pada saat dibutuhkan.
-           Penetapan hukum yang berdasarkan suara mayoritas juga tidak bertentangan dengan prinsip Islam. Contohnya dalam sikap Umar yang tergabung dalam syura. Mereka ditunjuk Umar sebagai kandidat khalifah dan sekaligus memilih salah seorang di antara mereka untuk menjadi khalifah berdasarkan suara terbanyak. Sementara, lainnya yang tidak terpilih harus tunduk dan patuh. Jika suara yang keluar tiga lawan tiga, mereka harus memilih seseorang yang diunggulkan dari luar mereka. Yaitu Abdullah ibn Umar. Contoh lain adalah penggunaan pendapat jumhur ulama dalam masalah khilafiyah. Tentu saja, suara mayoritas yang diambil ini adalah selama tidak bertentangan dengan nash syariat secara tegas.
-          Kebebasan pers dan kebebasan mengeluarkan pendapat, serta otoritas pengadilan merupakan sejumlah hal dalam demokrasi yang sejalan dengan Islam.
e)      Salim Ali al-Bahnasawi
Menurutnya, demokrasi mengandung sisi yang baik yang tidak bertentangan dengan islam dan memuat sisi negatif yang bertentangan dengan Islam. Sisi baik demokrasi adalah adanya kedaulatan rakyat selama tidak bertentangan dengan Islam. Sementara, sisi buruknya adalah penggunaan hak legislatif secara bebas yang bisa mengarah pada sikap menghalalkan yang haram. Karena itu, ia menawarkan adanya islamisasi demokrasi sebagai berikut:
-          Menetapkan tanggung jawab setiap individu di hadapan Allah.
-          Wakil rakyat harus berakhlak Islam dalam musyawarah dan tugas-tugas lainnya.
-          Mayoritas bukan ukuran mutlak dalam kasus yang hukumnya tidak ditemukan dalam Alquran dan Sunnah (al-Nisa 59) dan (al-Ahzab: 36).
-          Komitmen terhadap islam terkait dengan persyaratan jabatan sehingga hanya yang bermoral yang duduk di parlemen.
jika dilihat basis empiriknya, menurut Aswab Mahasin (1993:30), agama dan demokrasi memang berbeda. Agama berasal dari wahyu sementara demokrasi berasal dari pergumulan pemikiran manusia. Dengan demikian agama memiliki dialeketikanya sendiri. Namun begitu menurut Mahasin, tidak ada halangan bagi agama untuk berdampingan dengan demokrasi. Dalam perspektif Islam elemen-elemen demokrasi meliputi: 

1.    Syura
Merupakan suatu prinsip tentang cara pengambilan keputusan yang secara eksplisit ditegaskan dalam al-Qur’an. Misalnya saja disebut dalam QS. As-Syura:38 dan Ali Imran:159 Dalam praktik kehidupan umat Islam, lembaga yang paling dikenal sebagai pelaksana syura adalah ahl halli wa-l‘aqdi pada zaman khulafaurrasyidin. Lembaga ini lebih menyerupai tim formatur yang bertugas memilih kepala negara atau khalifah. Jelas bahwa musyawarah sangat diperlukan sebagai bahan pertimbanagan dan tanggung jawab bersama di dalam setiap mengeluarkan sebuah keputusan. Dengan begitu, maka setiap keputusan yang dikeluarkan oleh pemerintah akan menjadi tanggung jawab bersama. Sikap musyawarah juga merupakan bentuk dari pemberian penghargaan terhadap orang lain karena pendapat-pendapat yang disampaikan menjadi pertimbangan bersama.

2.    al-‘adalah 
Adalah keadilan, artinya dalam menegakkan hukum termasuk rekrutmen dalam berbagai jabatan pemerintahan harus dilakukan secara adil dan bijaksana. Kolusi dan nepotisme tidak dibolehkan. Arti pentingnya penegakan keadilan dalam sebuah pemerintahan ini ditegaskan oleh Allah SWT dalam beberapa ayat-Nya, antara lain dalam surat an-Nahl:90;  QS. as-Syura:15; al-Maidah:8; An-Nisa’:58 dst. Betapa prinsip keadilan dalam sebuah negara sangat diperlukan, sehingga ada ungkapan yang “ekstrim” berbunyi: “Negara yang berkeadilan akan lestari kendati ia negara kafir, sebaliknya negara yang zalim akan hancur meski ia negara (yang mengatasnamakan) Islam”. 

3.    al-Musawah 
Adalah kesejajaran, artinya tidak ada pihak yang merasa lebih tinggi dari yang lain sehingga dapat memaksakan kehendaknya. Penguasa tidak bisa memaksakan kehendaknya terhadap rakyat, berlaku otoriter dan eksploitatif. Kesejajaran ini penting dalam suatu pemerintahan demi menghindari dari hegemoni penguasa atas rakyat. Dalam perspektif Islam, pemerintah adalah orang atau institusi yang diberi wewenang dan kepercayaan oleh rakyat melalui pemilihan yang jujur dan adil untuk melaksanakan dan menegakkan peraturan dan undang-undang yang telah dibuat.
Oleh sebab itu pemerintah memiliki tanggung jawab besar di hadapan rakyat demikian juga kepada Tuhan. Dengan begitu pemerintah harus amanah, memiliki sikap dan perilaku yang dapat dipercaya, jujur dan adil. Sebagian ulama’ memahami al-musawah ini sebagai konsekuensi logis dari prinsip al-syura dan al-‘adalah. Diantara dalil al-Qur’an yang sering digunakan dalam hal ini adalah surat al-Hujurat:13, sementara dalil sunnah-nya cukup banyak antara lain tercakup dalam khutbah wada’ dan sabda Nabi kepada keluarga Bani Hasyim.

4.    al-Amanah 
Adalah sikap kepercayaan yang diberikan seseorang kepada orang lain. Oleh sebab itu kepercayaan atau amanah tersebut harus dijaga dengan baik. Dalam konteks kenegaraan, pemimpin atau pemerintah yang diberikan kepercayaan oleh rakyat harus mampu melaksanakan kepercayaan tersebut dengan penuh rasa tanggung jawab. Persoalan amanah ini terkait dengan sikap adil seperti ditegaskan Allah SWT dalam surat an-Nisa’:58. Karena jabatan pemerintahan adalah amanah, maka jabatan tersebut tidak bisa diminta, dan orang yang menerima jabatan seharusnya merasa prihatin bukan malah bersyukur atas jabatan tersebut. Inilah etika Islam.

5.    al-Masuliyyah 
Adalah tanggung jawab. Sebagaimana kita ketahui bahwa, kekuasaan dan jabatan itu adalah amanah yangh harus diwaspadai, bukan nikmat yang harus disyukuri, maka rasa tanggung jawab bagi seorang pemimpin atau penguasa harus dipenuhi.  Dan kekuasaan sebagai amanah ini mememiliki dua pengertian, yaitu amanah yang harus dipertanggungjawabkan di depan rakyat dan juga amanah yang harus dipertenggungjawabkan di depan Tuhan. Seperti yang dikatakan oleh Ibn Taimiyyah (Madani, 1999:13), bahwa penguasa merupakan wakil Tuhan dalam mengurus umat manusia dan sekaligus wakil umat manusia dalam mengatur dirinya. Dengan dihayatinya prinsip pertanggung jawaban (al-masuliyyah) ini diharapkan masing-masing orang berusaha untuk memberikan sesuatu yang terbaik bagi masyarakat luas. Dengan demikian, pemimpin/penguasa tidak ditempatkan pada posisi sebagai sayyid al-ummah (penguasa umat), melainkan sebagai khadim al-ummah (pelayan umat). Dengan demikian, kemaslahatan umat wajib senantiasa menjadi pertimbangan dalam setiap pengambilan keputusan oleh para penguasa, bukan sebaliknya rakyat atau umat ditinggalkan.

6.    al-Hurriyyah 
Adalah kebebasan, artinya bahwa setiap orang, setiap warga masyarakat diberi hak dan kebebasan untuk mengeksperesikan pendapatnya. Sepanjang hal itu dilakukan dengan cara yang bijak dan memperhatikan al-akhlaq al-karimah dan dalam rangka al-amr bi-‘l-ma’ruf wa an-nahy ‘an al-‘munkar, maka tidak ada alasan bagi penguasa untuk mencegahnya. Bahkan yang harus diwaspadai adalah adanya kemungkinan tidak adanya lagi pihak yang berani melakukan kritik dan kontrol sosial bagi tegaknya keadilan. Jika sudah tidak ada lagi kontrol dalam suatu masyarakat, maka kezaliman akan semakin merajalela. Jika suatu negara konsisten dengan penegakan prinsip-prinsip atau elemen-elemen demokrasi di atas, maka pemerintahan akan mendapat legitimasi dari rakyat. Dus dengan demikian maka roda pemerintahan akan berjalan dengan stabil.
Dalam realitas sejarah Islam memang ada pemerintahan otoriter yang dibungkus dengan baju Islam seperti pada praktek-praktek yang dilakukan oleh sebagian penguasa Bani ‘Abbasiyyah dan Umayyah.  Tetapi itu bukan alasan untuk melegitimasi bahwa Islam agama yang tidak demokratis. Seperti pengamatan Mahasin (1999:31), bahwa di beberapa bagian negara Arab misalnya, Islam seolah-olah mengesankan pemerintahan raja-raja yang korup dan otoriter. Inilah memang, betapa sulitnya menegakkan demokrasi, yang di dalamnya menyangkut soal: persamaan hak, pemberian kebebasan bersuara, penegakan musyawarah, keadilan, amanah dan tanggung jawab. Sulitnya menegakkan praktik demokratisasi dalam suatu negara oleh penguasa, seiring dengan kompleksitas problem dan tantangan yang dihadapinya, dan lebih dari itu adalah menyangkut komitmen dan moralitas sang penguasa itu sendiri. Dengan demikian, meperhatikan relasi antara agama dan demokrasi dalam sebuah komunitas sosial menyangkut banyak variabel, termasuk variabel independen non-agama.
Konsep demokrasi sebenarnya tidak sepenuhnya bertentangan dan tidak sepenuhnya sejalan dengan Islam. Prinsip dan konsep demokrasi yang sejalan dengan islam adalah keikutsertaan rakyat dalam mengontrol, mengangkat, dan menurunkan pemerintah, serta dalam menentukan sejumlah kebijakan lewat wakilnya. Adapun yang tidak sejalan adalah ketika suara rakyat diberikan kebebasan secara mutlak sehingga bisa mengarah kepada sikap, tindakan, dan kebijakan yang keluar dari rambu-rambu ilahi. Oleh karena itu, maka perlu dirumuskan sebuah sistem demokrasi yang sesuai dengan ajaran Islam. Yaitu di antaranya:
-          Demokrasi tersebut harus berada di bawah payung agama.
-          Rakyat diberi kebebasan untuk menyuarakan aspirasinya
-          Pengambilan keputusan senantiasa dilakukan dengan musyawarah
-          Suara mayoritas tidaklah bersifat mutlak meskipun tetap menjadi pertimbangan utama dalam musyawarah. Contohnya kasus Abu Bakr ketika mengambil suara minoritas yang menghendaki untuk memerangi kaum yang tidak mau membayar zakat. Juga ketika Umar tidak mau membagi-bagikan tanah hasil rampasan perang dengan mengambil pendapat minoritas agar tanah itu dibiarkan kepada pemiliknya dengan cukup mengambil pajaknya.
-          Musyawarah atau voting hanya berlaku pada persoalan ijtihadi; bukan pada persoalan yang sudah ditetapkan secara jelas oleh Alquran dan Sunah.
-          Produk hukum dan kebijakan yang diambil tidak boleh keluar dari nilai-nilai agama
-          Hukum dan kebijakan tersebut harus dipatuhi oleh semua warga
Agar sistem atau konsep demokrasi yang islami di atas terwujud, langkah yang harus dilakukan:
1)      Seluruh warga atau sebagian besarnya harus diberi pemahaman yang benar tentang Islam sehingga aspirasi yang mereka sampaikan tidak keluar dari ajarannya
2)      Parlemen atau lembaga perwakilan rakyat harus diisi dan didominasi oleh orang-orang Islam yang memahami dan mengamalkan Islam secara baik.[3]
f)       Muhammad Natsir
Tokoh ini berpendapat bahwa Islam menganut sistem demokratis, dalam pengertian bahwa Islam menolak istibdad (despotisme), absolutisme, dan otoritarianisme. Tidak semua hal dalam pemerintahan Islam diputuskan melalui Dewan Permusyawaratan. Keputusan demokratis diimplementasikan hanya pada masalah  yang tidak disebutkan spesifik dalam syariah.  Islam mempunyai konsep dan karekter demokratis sendiri, mempunyai sintesis antara demokrasi dan otokrasi.
g)      Jalaludin Rahmat
Tokoh ini mendukung demokrasi sebagai prinsip bagi sistem politik yang didasarkan pada dua konsep yaitu partisipasi politik dan hak asasi manusia. Konsep ini tidak hanya sesuai dengan Islam tetapi juga merupakan perwujudan ajaran-ajaran Islam dalam kehidupan berbangsa.[4]
            Masykuri Abdillah beranggapan bahwa para pemimpin dan intelektual serta aktivis politik muslim Orde Baru juga mendukung demokrasi karena, nilai-nilai demokrasi sesuai dengan nilai-nilai Islam tentag masyarakat dan demokrasi adalah cara yang tepat untuk mengartikulasi aspirasi dan kepentingan-kepentingan Islam.[5]
h)      Abdurrahman Wahid
Tokoh Indonesia ini pro-demokrasi. Beliau mengkalim bahwa “perjuangan untuk menegakkan keadilan, mewujudkan demokrasi, dan mengembangkan kemampuan dasar tiap individu dalam mengatasi permasalahanya, mendapat konsep-konsepnya dari keyakinan agama”.




PENUTUP
Kesimpulan
Konsep demokrasi tidak sepenuhnya bertentangan dan tidak sepenuhnya sejalan dengan Islam. Secara garis besarnya, prinsip dan konsep demokrasi yang sejalan dengan Islam adalah keikutsertaan rakyat dalam mengontrol, mengangkat, dan menurunkan pemerintah, serta dalam menentukan sejumlah kebijakan lewat wakilnya. Adapun yang tidak sejalan adalah ketika suara rakyat diberikan kebebasan secara mutlak sehingga bisa mengarah kepada sikap, tindakan, dan kebijakan yang keluar dari rambu-rambu Ilahi.
Karena itu, perlu dirumuskan sebuah sistem demokrasi yang sesuai dengan ajaran Islam. Diantaranya adalah: Demokrasi tersebut harus berada di bawah payung agama, rakyat diberi kebebasan untuk menyuarakan aspirasinya, pengambilan keputusan senantiasa dilakukan dengan musyawarah, suara mayoritas tidaklah bersifat mutlak meskipun tetap menjadi pertimbangan utama dalam musyawarah.
 Contohnya kasus Abu Bakr ketika mengambil suara minoritas yang menghendaki untuk memerangi kaum yang tidak mau membayar zakat. Juga ketika Umar tidak mau membagi-bagikan tanah hasil rampasan perang dengan mengambil pendapat minoritas agar tanah itu dibiarkan kepada pemiliknya dengan cukup mengambil pajaknya, musyawarah atau voting hanya berlaku pada persoalan ijtihadi; bukan pada persoalan yang sudah ditetapkan secara jelas oleh Alquran dan Sunah, produk hukum dan kebijakan yang diambil tidak boleh keluar dari nilai-nilai agama, hukum dan kebijakan tersebut harus dipatuhi oleh semua warga. Agar sistem atau konsep ‘demokrasi yang islami’ di atas terwujud, langkah yang harus dilakukan adalah: Seluruh warga atau sebagian besarnya harus diberi pemahaman yang benar tentang Islam sehingga aspirasi yang mereka sampaikan tidak keluar dari ajarannya dan parlemen atau lembaga perwakilan rakyat harus diisi dan didominasi oleh orang-orang Islam yang memahami dan mengamalkan Islam secara baik.


DAFTAR PUSTAKA
Sahidin. 2004.  Kala Demokrasi Melahirkan Anarki Potret Tragedi Politik di
            Dongos. Yogyakarta: Logung.



[1] Sahidin, Kala Demokrasi Melahirkan Anarki Potret Tragedi Politik di Dongos (Yogyakarta: Logung, 2004) hlm. 58-59.
[2] Sahidin, Kala Demokrasi Melahirkan Anarki Potret Tragedi Politik di Dongos....., hlm. 59-60
[3] http://astya-yoga.blogspot.com/2012/01/pandangan-islam-tentang-demokrasi.html diunduh pada hari Jum’at 26 April 2013 pukul 11.00


[5] Sahidin, Kala Demokrasi Melahirkan Anarki Potret Tragedi Politik di Dongos....., hlm. 62-64

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

NILAI PAS KELAS 2A

Blok Pink: Siswa Tahfidz