SIKAP ISLAM TERHADAP DEMOKRASI
Makalah
ini disusun guna memenuhi tugas kelompok
Mata
kuliah: Islam Budaya Lokal
Disusun
Oleh :
1.
Asmadi Amiruddin 08410173
2.
Rohmat Ainun
Najib 09410188
3.
Sutri cahyo
Kusumo 10410003
4.
Muhammad Nur
Saddam 10400020
5.
Ichsan Wibowo 10410069
6.
Chichi ‘Aisyatud
D.Z 10410006
7.
Anna Rif’atul
Mahmudah 10410007
8.
Purwanti 10410021
9.
Lu’lu’ Nurhusna 10410025
10. Maria Ulfah 10410027
11. Dwi Noventi 10410034
JURUSAN
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS
TARBIYAH DAN KEGURUAN
UIN
SUNAN KALIJAGA
TAHUN
2013
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
B. Rumusan Masalah
PEMBAHASAN (ANALISIS)
A. Pengertian
Demokrasi
1. Demokrasi
adalah sebuah konsep yang datangnya bukan dari dunia Islam, tetapi dari dunia
barat yang menyeluruh (universal).
2. Menurut
Joseph A. Scumpeter, demokrasi adalah suatu perencanaan instituasional untuk
mencapai keputusan politik dimana individu-individu memperoleh kekuasaan untuk memutuskan dengan cara perjuangan.
3. Menurut
Sidney Hook, demokrasi adalah bentuk pemerintahan dimana keputusan-keputusan
pemerintah yang penting atau arah kebijaksanaan di balik keputusan ini secara
langdung maupun tidak langsung didasarkan pada kesepakatan mayoritas yang
diberikan secara bebas dari rakyat dewasa.[1]
B. Sikap
Islam terhadap demokrasi
Islam
adalah agama egalitarian yang tidak membedakan manusia berdasarkan suku,
bangsa, agama, ras dan keturunan. Jika terjadi ketidaksamaan diantara mereka,
hanya semata-mata karena ketakwaan atau moralitas mereka.
Secara
spesifik, dalam Islam tidak menyebutkan adanya demokrasi, tetapi nilai dan
prinsip Islam mendukung gagasan universal tentang demokrasi. Misalnya dalam
prinsip Islam yaitu:
1. ‘Adl
(Keadilan)
2. Syura
(musyawarah)
3. Musawwah
(kesetaraan).
Ketiga
prinsip itu tidak hanya cocok dengan demokrasi, tetapi jika ditafsirkan secara
benar, dalam dirinya sendiri sudah mengandung sebuah bentuk demokrasi.
Sehingga, demokrasi adalah sarana terbaik untuk mewujudkan cita-cita
kemanusiaan dan cita-cita kemasyarakatan Islam. Prinsip-prinsip itu dapat
diimpelemtasikan di seluruh wilayah
publik, akan tetapi kebanyakan ilmuwan Muslim membatasinya pada wilayah politik
(siyasah).[2]
Demokrasi sering diartikan sebagai
penghargaan terhadap hak-hak asasi manusia, partisipasi dalam pengambilan
keputusan dan persamaan hak di depan hukum. Dari sini kemudian muncul
idiom-idiom demokrasi, seperti egalite (persamaan), equality (keadilan),
liberty (kebebasan), human right (hak asasi manusia), dst. Di dalam Islam
Demokrasi ini masih menjadi bahan perdebatan diantara para Ulama dan
intelektual Islam, untuk memposisikan Demokrasi secara tepat kita lihat dulu
prinsip-prinsip Demokrasi dari pandangan para ulama, yaitu : Menurut Sadek, J.
Sulayman, dalam demokrasi terdapat sejumlah prinsip yang menjadi standar baku. Di
antaranya :
a. Kebebasan berbicara setiap warga negara.
b. Pelaksanaan pemilu untuk menilai apakah pemerintah
yang berkuasa layak didukung kembali atau harus diganti.
c. Kekuasaan dipegang oleh suara mayoritas tanpa
mengabaikan kontrol minoritas
d. Peranan partai politik yang sangat penting sebagai
wadah aspirasi politik rakyat.
e. Pemisahan kekuasaan legislatif, eksekutif, dan
yudikatif.
f. Supremasi hukum (semua harus tunduk pada hukum).
g. Semua individu bebas melakukan apa saja tanpa boleh
dibelenggu
Sedangkan pendapat para Tokoh
tentang Islam dan Demokrasi itu ialah sebagai berikut
a) Al-Maududi
tokoh ini secara tegas menolak demokrasi. Menurutnya, Islam tidak mengenal paham ini yang memberikan kekuasaan besar kepada rakyat untuk menetapkan segala hal. Demokrasi adalah buatan manusia sekaligus produk dari dunia Barat terhadap agama sehingga cenderung sekuler. Karenanya, al-Maududi menganggap demokrasi modern (Barat) merupakan sesuatu yang bersifat syirik. Islam menganut paham teokrasi (berdasarkan hukum Tuhan). Tentu saja bukan teokrasi yang diterapkan di Barat pada abad pertengahan yang telah memberikan kekuasaan tak terbatas pada para pendeta.
tokoh ini secara tegas menolak demokrasi. Menurutnya, Islam tidak mengenal paham ini yang memberikan kekuasaan besar kepada rakyat untuk menetapkan segala hal. Demokrasi adalah buatan manusia sekaligus produk dari dunia Barat terhadap agama sehingga cenderung sekuler. Karenanya, al-Maududi menganggap demokrasi modern (Barat) merupakan sesuatu yang bersifat syirik. Islam menganut paham teokrasi (berdasarkan hukum Tuhan). Tentu saja bukan teokrasi yang diterapkan di Barat pada abad pertengahan yang telah memberikan kekuasaan tak terbatas pada para pendeta.
b)
Mohammad Iqbal
Intelektual Pakistan ternama Muhammad Iqbal sangat
mengkritik adanya demokrasi. Menurutnya, sejalan dengan kemenangan sekularisme
atas agama, demokrasi modern menjadi kehilangan sisi spiritualnya sehingga jauh
dari etika. Demokrasi yang merupakan kekuasaan dari rakyat, oleh rakyat, dan
untuk rakyat telah mengabaikan keberadaan agama. Parlemen sebagai salah satu
pilar demokrasi dapat saja menetapkan hukum yang bertentangan dengan nilai
agama kalau anggotanya menghendaki. Atas dasar itu, Iqbal menawarkan
sebuah konsep demokrasi spiritual yang dilandasi oleh etik dan moral ketuhanan.
Jadi yang ditolak oleh Iqbal bukan demokrasinya melainkan, prakteknya yang
berkembang di Barat. Iqbal menawarkan sebuah model demokrasi sebagai berikut :
-
Tauhid sebagai landasan asasi
-
Kepatuhan pada hukum
-
Toleransi sesama warga.
-
Tidak dibatasi wilayah, ras, dan
warna kulit.
-
Penafsiran hukum Tuhan melalui
ijtihad.
c)
Muhammad Imarah
Menurut beliau Islam tidak menerima demokrasi secara
mutlak dan juga tidak menolaknya secara mutlak. Dalam demokrasi, kekuasaan
legislatif (membuat dan menetapkan hukum) secara mutlak berada di tangan
rakyat. Sementara, dalam sistem syura (Islam) kekuasaan tersebut merupakan
wewenang Allah yang memegang kekuasaan hukum tertinggi. Wewenang manusia
hanyalah menjabarkan dan merumuskan hukum sesuai dengan prinsip yang digariskan
Tuhan serta berijtihad untuk sesuatu yang tidak diatur oleh ketentuan Allah.
Jadi, Allah berposisi sebagai al-Syâri’ (legislator) sementara manusia
berposisi sebagai faqîh (yang memahami dan menjabarkan) hukum-Nya.
Demokrasi Barat berasal pada pandangan mereka tentang
batas kewenangan Tuhan. Menurut Aristoteles, setelah Tuhan menciptakan alam, Dia
membiarkannya. Dalam filsafat Barat, manusia memiliki kewenangan legislatif dan
eksekutif. Sementara, dalam pandangan Islam, Allah-lah pemegang otoritas
tersebut. Allah befirman Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak
Allah. Maha Suci Allah, Tuhan semesta alam. (al-A’râf: 54). Inilah batas yang
membedakan antara sistem syariah Islam dan Demokrasi Barat. Adapun hal lainnya
seperti membangun hukum atas persetujuan umat, pandangan mayoritas, serta
orientasi pandangan umum, dan sebagainya adalah sejalan dengan Islam.
d)
Yusuf al-Qardhawi
Menurut beliau, substansi demokrasi sejalan dengan
Islam. Hal ini bisa dilihat dari beberapa aspek. Misalnya:
-
Dalam demokrasi proses pemilihan
melibatkkan banyak orang untuk mengangkat seorang kandidat yang berhak memimpin
dan mengurus keadaan mereka. Tentu saja, mereka tidak boleh memilih sesuatu
yang tidak mereka sukai. Demikian juga dengan Islam. Islam menolak seseorang
menjadi imam shalat yang tidak disukai oleh makmum di belakangnya.
-
Usaha setiap rakyat untuk
meluruskan penguasa yang tiran juga sejalan dengan Islam. Bahkan amar makruf
dan nahi mungkar serta memberikan nasihat kepada pemimpin adalah bagian dari
ajaran Islam.
-
Pemilihan umum termasuk jenis
pemberian saksi. Karena itu, barangsiapa yang tidak menggunakan hak pilihnya
sehingga kandidat yang mestinya layak dipilih menjadi kalah dan suara mayoritas
jatuh kepada kandidat yang sebenarnya tidak layak, berarti ia telah menyalahi
perintah Allah untuk memberikan kesaksian pada saat dibutuhkan.
-
Penetapan hukum yang berdasarkan suara
mayoritas juga tidak bertentangan dengan prinsip Islam. Contohnya dalam sikap
Umar yang tergabung dalam syura. Mereka ditunjuk Umar sebagai kandidat khalifah
dan sekaligus memilih salah seorang di antara mereka untuk menjadi khalifah
berdasarkan suara terbanyak. Sementara, lainnya yang tidak terpilih harus
tunduk dan patuh. Jika suara yang keluar tiga lawan tiga, mereka harus memilih
seseorang yang diunggulkan dari luar mereka. Yaitu Abdullah ibn Umar. Contoh
lain adalah penggunaan pendapat jumhur ulama dalam masalah khilafiyah. Tentu
saja, suara mayoritas yang diambil ini adalah selama tidak bertentangan dengan
nash syariat secara tegas.
-
Kebebasan pers dan kebebasan
mengeluarkan pendapat, serta otoritas pengadilan merupakan sejumlah hal dalam
demokrasi yang sejalan dengan Islam.
e)
Salim Ali al-Bahnasawi
Menurutnya, demokrasi mengandung sisi yang baik yang
tidak bertentangan dengan islam dan memuat sisi negatif yang bertentangan
dengan Islam. Sisi baik demokrasi adalah adanya kedaulatan rakyat selama tidak
bertentangan dengan Islam. Sementara, sisi buruknya adalah penggunaan hak
legislatif secara bebas yang bisa mengarah pada sikap menghalalkan yang haram.
Karena itu, ia menawarkan adanya islamisasi demokrasi sebagai berikut:
-
Menetapkan tanggung jawab setiap
individu di hadapan Allah.
-
Wakil rakyat harus berakhlak Islam
dalam musyawarah dan tugas-tugas lainnya.
-
Mayoritas bukan ukuran mutlak dalam
kasus yang hukumnya tidak ditemukan dalam Alquran dan Sunnah (al-Nisa 59) dan
(al-Ahzab: 36).
-
Komitmen terhadap islam terkait
dengan persyaratan jabatan sehingga hanya yang bermoral yang duduk di parlemen.
jika dilihat basis empiriknya, menurut Aswab Mahasin (1993:30), agama dan demokrasi memang berbeda. Agama berasal dari wahyu sementara demokrasi berasal dari pergumulan pemikiran manusia. Dengan demikian agama memiliki dialeketikanya sendiri. Namun begitu menurut Mahasin, tidak ada halangan bagi agama untuk berdampingan dengan demokrasi. Dalam perspektif Islam elemen-elemen demokrasi meliputi:
jika dilihat basis empiriknya, menurut Aswab Mahasin (1993:30), agama dan demokrasi memang berbeda. Agama berasal dari wahyu sementara demokrasi berasal dari pergumulan pemikiran manusia. Dengan demikian agama memiliki dialeketikanya sendiri. Namun begitu menurut Mahasin, tidak ada halangan bagi agama untuk berdampingan dengan demokrasi. Dalam perspektif Islam elemen-elemen demokrasi meliputi:
1. Syura
Merupakan suatu prinsip tentang cara pengambilan keputusan yang secara
eksplisit ditegaskan dalam al-Qur’an. Misalnya saja disebut dalam QS.
As-Syura:38 dan Ali Imran:159 Dalam praktik kehidupan umat Islam, lembaga yang
paling dikenal sebagai pelaksana syura adalah ahl halli wa-l‘aqdi pada zaman
khulafaurrasyidin. Lembaga ini lebih menyerupai tim formatur yang bertugas
memilih kepala negara atau khalifah. Jelas bahwa musyawarah sangat diperlukan
sebagai bahan pertimbanagan dan tanggung jawab bersama di dalam setiap
mengeluarkan sebuah keputusan. Dengan begitu, maka setiap keputusan yang
dikeluarkan oleh pemerintah akan menjadi tanggung jawab bersama. Sikap
musyawarah juga merupakan bentuk dari pemberian penghargaan terhadap orang lain
karena pendapat-pendapat yang disampaikan menjadi pertimbangan bersama.
2. al-‘adalah
Adalah keadilan, artinya dalam menegakkan hukum termasuk rekrutmen dalam
berbagai jabatan pemerintahan harus dilakukan secara adil dan bijaksana. Kolusi
dan nepotisme tidak dibolehkan. Arti pentingnya penegakan keadilan dalam sebuah
pemerintahan ini ditegaskan oleh Allah SWT dalam beberapa ayat-Nya, antara lain
dalam surat an-Nahl:90; QS. as-Syura:15; al-Maidah:8; An-Nisa’:58 dst.
Betapa prinsip keadilan dalam sebuah negara sangat diperlukan, sehingga ada
ungkapan yang “ekstrim” berbunyi: “Negara yang berkeadilan akan lestari kendati
ia negara kafir, sebaliknya negara yang zalim akan hancur meski ia negara (yang
mengatasnamakan) Islam”.
3. al-Musawah
Adalah kesejajaran, artinya tidak ada pihak yang merasa lebih tinggi dari
yang lain sehingga dapat memaksakan kehendaknya. Penguasa tidak bisa memaksakan
kehendaknya terhadap rakyat, berlaku otoriter dan eksploitatif. Kesejajaran ini
penting dalam suatu pemerintahan demi menghindari dari hegemoni penguasa atas
rakyat. Dalam perspektif Islam, pemerintah adalah orang atau institusi yang
diberi wewenang dan kepercayaan oleh rakyat melalui pemilihan yang jujur dan
adil untuk melaksanakan dan menegakkan peraturan dan undang-undang yang telah
dibuat.
Oleh sebab itu pemerintah memiliki tanggung jawab besar di hadapan rakyat
demikian juga kepada Tuhan. Dengan begitu pemerintah harus amanah, memiliki
sikap dan perilaku yang dapat dipercaya, jujur dan adil. Sebagian ulama’
memahami al-musawah ini sebagai konsekuensi logis dari prinsip al-syura dan
al-‘adalah. Diantara dalil al-Qur’an yang sering digunakan dalam hal ini adalah
surat al-Hujurat:13, sementara dalil sunnah-nya cukup banyak antara lain
tercakup dalam khutbah wada’ dan sabda Nabi kepada keluarga Bani Hasyim.
4. al-Amanah
Adalah sikap kepercayaan yang diberikan seseorang kepada orang lain. Oleh
sebab itu kepercayaan atau amanah tersebut harus dijaga dengan baik. Dalam
konteks kenegaraan, pemimpin atau pemerintah yang diberikan kepercayaan oleh
rakyat harus mampu melaksanakan kepercayaan tersebut dengan penuh rasa tanggung
jawab. Persoalan amanah ini terkait dengan sikap adil seperti ditegaskan Allah
SWT dalam surat an-Nisa’:58. Karena jabatan pemerintahan adalah amanah, maka
jabatan tersebut tidak bisa diminta, dan orang yang menerima jabatan seharusnya
merasa prihatin bukan malah bersyukur atas jabatan tersebut. Inilah etika
Islam.
5. al-Masuliyyah
Adalah tanggung jawab. Sebagaimana kita ketahui bahwa, kekuasaan dan
jabatan itu adalah amanah yangh harus diwaspadai, bukan nikmat yang harus
disyukuri, maka rasa tanggung jawab bagi seorang pemimpin atau penguasa harus
dipenuhi. Dan kekuasaan sebagai amanah ini mememiliki dua pengertian,
yaitu amanah yang harus dipertanggungjawabkan di depan rakyat dan juga amanah
yang harus dipertenggungjawabkan di depan Tuhan. Seperti yang dikatakan oleh
Ibn Taimiyyah (Madani, 1999:13), bahwa penguasa merupakan wakil Tuhan dalam
mengurus umat manusia dan sekaligus wakil umat manusia dalam mengatur dirinya.
Dengan dihayatinya prinsip pertanggung jawaban (al-masuliyyah) ini diharapkan
masing-masing orang berusaha untuk memberikan sesuatu yang terbaik bagi
masyarakat luas. Dengan demikian, pemimpin/penguasa tidak ditempatkan pada
posisi sebagai sayyid al-ummah (penguasa umat), melainkan sebagai khadim
al-ummah (pelayan umat). Dengan demikian, kemaslahatan umat wajib senantiasa
menjadi pertimbangan dalam setiap pengambilan keputusan oleh para penguasa,
bukan sebaliknya rakyat atau umat ditinggalkan.
6. al-Hurriyyah
Adalah kebebasan, artinya bahwa setiap orang, setiap warga masyarakat
diberi hak dan kebebasan untuk mengeksperesikan pendapatnya. Sepanjang hal itu
dilakukan dengan cara yang bijak dan memperhatikan al-akhlaq al-karimah dan
dalam rangka al-amr bi-‘l-ma’ruf wa an-nahy ‘an al-‘munkar, maka tidak ada
alasan bagi penguasa untuk mencegahnya. Bahkan yang harus diwaspadai adalah
adanya kemungkinan tidak adanya lagi pihak yang berani melakukan kritik dan
kontrol sosial bagi tegaknya keadilan. Jika sudah tidak ada lagi kontrol dalam
suatu masyarakat, maka kezaliman akan semakin merajalela. Jika suatu negara
konsisten dengan penegakan prinsip-prinsip atau elemen-elemen demokrasi di
atas, maka pemerintahan akan mendapat legitimasi dari rakyat. Dus dengan
demikian maka roda pemerintahan akan berjalan dengan stabil.
Dalam realitas sejarah Islam memang ada pemerintahan otoriter yang
dibungkus dengan baju Islam seperti pada praktek-praktek yang dilakukan oleh
sebagian penguasa Bani ‘Abbasiyyah dan Umayyah. Tetapi itu bukan alasan
untuk melegitimasi bahwa Islam agama yang tidak demokratis. Seperti pengamatan
Mahasin (1999:31), bahwa di beberapa bagian negara Arab misalnya, Islam
seolah-olah mengesankan pemerintahan raja-raja yang korup dan otoriter. Inilah
memang, betapa sulitnya menegakkan demokrasi, yang di dalamnya menyangkut soal:
persamaan hak, pemberian kebebasan bersuara, penegakan musyawarah, keadilan,
amanah dan tanggung jawab. Sulitnya menegakkan praktik demokratisasi dalam
suatu negara oleh penguasa, seiring dengan kompleksitas problem dan tantangan
yang dihadapinya, dan lebih dari itu adalah menyangkut komitmen dan moralitas
sang penguasa itu sendiri. Dengan demikian, meperhatikan relasi antara agama
dan demokrasi dalam sebuah komunitas sosial menyangkut banyak variabel,
termasuk variabel independen non-agama.
Konsep demokrasi sebenarnya tidak sepenuhnya bertentangan dan tidak
sepenuhnya sejalan dengan Islam. Prinsip dan konsep demokrasi yang sejalan
dengan islam adalah keikutsertaan rakyat dalam mengontrol, mengangkat, dan
menurunkan pemerintah, serta dalam menentukan sejumlah kebijakan lewat
wakilnya. Adapun yang tidak sejalan adalah ketika suara rakyat diberikan
kebebasan secara mutlak sehingga bisa mengarah kepada sikap, tindakan, dan
kebijakan yang keluar dari rambu-rambu ilahi. Oleh karena itu, maka perlu dirumuskan
sebuah sistem demokrasi yang sesuai dengan ajaran Islam. Yaitu di antaranya:
-
Demokrasi tersebut harus berada di
bawah payung agama.
-
Rakyat diberi kebebasan untuk
menyuarakan aspirasinya
-
Pengambilan keputusan senantiasa
dilakukan dengan musyawarah
-
Suara mayoritas tidaklah bersifat
mutlak meskipun tetap menjadi pertimbangan utama dalam musyawarah. Contohnya
kasus Abu Bakr ketika mengambil suara minoritas yang menghendaki untuk
memerangi kaum yang tidak mau membayar zakat. Juga ketika Umar tidak mau membagi-bagikan
tanah hasil rampasan perang dengan mengambil pendapat minoritas agar tanah itu
dibiarkan kepada pemiliknya dengan cukup mengambil pajaknya.
-
Musyawarah atau voting hanya
berlaku pada persoalan ijtihadi; bukan pada persoalan yang sudah ditetapkan
secara jelas oleh Alquran dan Sunah.
-
Produk hukum dan kebijakan yang
diambil tidak boleh keluar dari nilai-nilai agama
-
Hukum dan kebijakan tersebut harus
dipatuhi oleh semua warga
Agar sistem atau konsep demokrasi yang islami di atas
terwujud, langkah yang harus dilakukan:
1) Seluruh warga atau sebagian besarnya harus diberi
pemahaman yang benar tentang Islam sehingga aspirasi yang mereka sampaikan tidak
keluar dari ajarannya
2) Parlemen atau lembaga perwakilan rakyat harus diisi
dan didominasi oleh orang-orang Islam yang memahami dan mengamalkan Islam
secara baik.[3]
f) Muhammad Natsir
Tokoh ini berpendapat bahwa Islam menganut sistem
demokratis, dalam pengertian bahwa Islam menolak istibdad (despotisme),
absolutisme, dan otoritarianisme. Tidak semua hal dalam pemerintahan Islam
diputuskan melalui Dewan Permusyawaratan. Keputusan demokratis
diimplementasikan hanya pada masalah yang
tidak disebutkan spesifik dalam syariah.
Islam mempunyai konsep dan karekter demokratis sendiri, mempunyai
sintesis antara demokrasi dan otokrasi.
g) Jalaludin Rahmat
Tokoh ini mendukung demokrasi sebagai prinsip bagi
sistem politik yang didasarkan pada dua konsep yaitu partisipasi politik dan hak
asasi manusia. Konsep ini tidak hanya sesuai dengan Islam tetapi juga merupakan
perwujudan ajaran-ajaran Islam dalam kehidupan berbangsa.[4]
Masykuri Abdillah
beranggapan bahwa para pemimpin dan intelektual serta aktivis politik muslim
Orde Baru juga mendukung demokrasi karena, nilai-nilai demokrasi sesuai dengan
nilai-nilai Islam tentag masyarakat dan demokrasi adalah cara yang tepat untuk
mengartikulasi aspirasi dan kepentingan-kepentingan Islam.[5]
h) Abdurrahman Wahid
Tokoh Indonesia ini pro-demokrasi. Beliau mengkalim bahwa “perjuangan untuk
menegakkan keadilan, mewujudkan demokrasi, dan mengembangkan kemampuan dasar
tiap individu dalam mengatasi permasalahanya, mendapat konsep-konsepnya dari
keyakinan agama”.
PENUTUP
Kesimpulan
Konsep demokrasi tidak sepenuhnya bertentangan dan tidak sepenuhnya sejalan
dengan Islam. Secara garis besarnya, prinsip dan konsep demokrasi yang sejalan
dengan Islam adalah keikutsertaan rakyat dalam mengontrol, mengangkat, dan
menurunkan pemerintah, serta dalam menentukan sejumlah kebijakan lewat
wakilnya. Adapun yang tidak sejalan adalah ketika suara rakyat diberikan
kebebasan secara mutlak sehingga bisa mengarah kepada sikap, tindakan, dan
kebijakan yang keluar dari rambu-rambu Ilahi.
Karena itu, perlu dirumuskan sebuah sistem demokrasi yang sesuai dengan ajaran
Islam. Diantaranya adalah: Demokrasi tersebut harus berada di bawah payung
agama, rakyat diberi kebebasan untuk menyuarakan aspirasinya, pengambilan
keputusan senantiasa dilakukan dengan musyawarah, suara mayoritas tidaklah
bersifat mutlak meskipun tetap menjadi pertimbangan utama dalam musyawarah.
Contohnya kasus Abu Bakr ketika
mengambil suara minoritas yang menghendaki untuk memerangi kaum yang tidak mau
membayar zakat. Juga ketika Umar tidak mau membagi-bagikan tanah hasil rampasan
perang dengan mengambil pendapat minoritas agar tanah itu dibiarkan kepada
pemiliknya dengan cukup mengambil pajaknya, musyawarah atau voting hanya
berlaku pada persoalan ijtihadi; bukan pada persoalan yang sudah ditetapkan secara
jelas oleh Alquran dan Sunah, produk hukum dan kebijakan yang diambil tidak
boleh keluar dari nilai-nilai agama, hukum dan kebijakan tersebut harus
dipatuhi oleh semua warga. Agar sistem atau konsep ‘demokrasi yang islami’ di
atas terwujud, langkah yang harus dilakukan adalah: Seluruh warga atau sebagian
besarnya harus diberi pemahaman yang benar tentang Islam sehingga aspirasi yang
mereka sampaikan tidak keluar dari ajarannya dan parlemen atau lembaga
perwakilan rakyat harus diisi dan didominasi oleh orang-orang Islam yang
memahami dan mengamalkan Islam secara baik.
DAFTAR
PUSTAKA
Sahidin. 2004.
Kala Demokrasi Melahirkan Anarki
Potret Tragedi Politik di
Dongos.
Yogyakarta: Logung.
[1] Sahidin, Kala Demokrasi Melahirkan Anarki Potret Tragedi Politik di Dongos
(Yogyakarta: Logung, 2004) hlm. 58-59.
[2] Sahidin, Kala Demokrasi Melahirkan Anarki Potret Tragedi Politik di Dongos.....,
hlm. 59-60
[3]
http://astya-yoga.blogspot.com/2012/01/pandangan-islam-tentang-demokrasi.html
diunduh pada hari Jum’at 26 April 2013 pukul 11.00
[5] Sahidin, Kala Demokrasi Melahirkan Anarki Potret Tragedi Politik di Dongos.....,
hlm. 62-64
Tidak ada komentar:
Posting Komentar